TOP

Villa Rufolo, Sebuah Kenangan Akan Ravello

Kota kecil di Pesisir Amalfi ini walau tak memiliki pantai seperti Positano dan Amalfi, namun keindahannya tak kalah membius banyak orang. Buktinya, beberapa komposer, musisi, dan penulis ternama dari seluruh dunia mengaku menemukan inspirasi untuk berbagai karya besar mereka di sini.

“Hindari ke sana hari Minggu karena ramai dan sebaiknya sudah berada di pemberhentian SITA Bus sebelum turis-turis berdatangan. Pokoknya jangan mau naik bus yang tidak memiliki kursi kosong! Dari Sorrento ke Amalfi, pilih kursi sebelah kanan, dan dari Amalfi ke Sorrento, pilih kursi sebelah kiri,” begitu pesan Luigi, pemilik rumah di perbukitan Sant’Agnello yang dipasarkannya melalui situs Airbnb. Kami cuma manggut-manggut, tapi sepenuhnya mengerti.

Tadinya kami berniat mencari akomodasi di Sorrento, kota yang lebih besar di Pesisir Amalfi. Karena kotanya lebih besar, tentu saja lebih banyak fasilitas yang tersedia, baik hotel, restoran, maupun toko suvenir bila kami berniat berbelanja oleh-oleh. Namun melihat rumah Luigi yang asri di atas bukit yang menghadap Laut Mediterania, kami pun langsung tergoda. Terlebih ia menawarkan layanan antar-jemput bagi para tamunya dari/ke pusat kota Sorrento, si kota besar tetangga, termasuk layanan antar-jemput gratis dari/ke stasiun Sorrento karena kami naik kereta Circumvesuviana dari Naples.

“Pokoknya tinggal telepon, saya akan segera jemput. Untuk urusan makan pun jangan khawatir. Teman saya punya restoran di Sant’Agnello yang ulasannya cukup baik dan ia juga menyediakan antar-jemput khusus untuk para tamu saya,” begitu ujarnya dalam percakapan di surat elektronik. Tentu saja, tak lama kemudian kami memesan empat malam di rumahnya yang berbentuk bungalow dan terpisah dari rumah utama. Mengelola penginapan ini bersama putranya, Luigi yang ternyata pernah bekerja di Kalimantan ini juga memiliki kapal untuk membawa para tamunya ke berbagai tempat di Pesisir Amalfi di musim panas. “Sayang kalian datang sebelum cuaca menghangat, di musim panas, saya dapat mengantar kalian ke Capri!” katanya dengan jenaka.

Menuruti saran Luigi – dan memang sejak kami tiba, tanpa diminta ia menjadi travel planner kami dan menyarankan jadwal perjalanan dari hari ke hari di sekitar Pesisir Amalfi – kami pun mengunjungi Ravello di Provinsi Salerno di hari Senin. Kami tiba di tempat pemberhentian bus bahkan sebelum para supir bus tiba. SITA Bus adalah layanan bus wisata yang berangkat dari Sorrento ke berbagai kota di kawasan Pesisir Amalfi, seperti ke Positano, Amalfi, dan Ravello. Dari Sorrento, dalam satu hari sebenarnya dengan SITA Bus dapat mengunjungi Positano, Amalfi, dan Ravello sekaligus. Namun karena kami tak ingin diburu-buru, diputuskan untuk mengunjungi tempat yang lebih jauh terlebih dulu, yaitu Amalfi dan Ravello, berhubung bus menuju Ravello dari Sorrento harus berhenti di Amalfi dan penumpang harus berganti bus. Positano yang lebih dekat ke Sorrento kami jadwalkan untuk dikunjungi hari berikutnya dengan dipadukan menjelajahi Sorrento.

Si Tukang Mengeluh

Kami tiba di terminal SITA Bus yang tak jauh dari Stasiun Sorrento beberapa menit sebelum pukul sembilan pagi. Beberapa turis mulai mengerumuni bus yang masih dalam keadaan terkunci. Tiket bus dapat dibeli di kios-kios yang menjual rokok – disebut tabaccheria dalam bahasa Italia. Karena kapasitas bus yang terbatas, di musim-musim ramai turis bus mengangkut lebih banyak orang dibandingkan kapasitas tempat duduk yang tersedia, sehingga yang tidak kebagian tempat duduk harus bersedia berdiri. Perjalanan selama satu jam ke Amalfi melewati jalan perbukitan yang berkelok dan kadang diapit jurang memang dengan mudah membuat mabuk. Kami baru mengerti, inilah yang tempo hari dimaksud Luigi untuk harus mendapatkan tempat duduk.

Pagi itu kami mendapat tempat duduk di belakang dua pasang turis Amerika Serikat yang sepanjang jalan mengeluhkan kondisi perjalanan, mulai dari tidak tersedianya sabuk pengaman dan bus yang terus menerima penumpang dan membuat penumpang yang berdiri harus rela dipepet kanan-kiri. Mereka berbicara dengan suara kencang, mungkin menurut mereka, hanya mereka di dalam bus tersebut yang mengerti bahasa Inggris. Sebagai satu-satunya orang yang berbahasa Indonesia di bus itu, kami pun menyeletuki omongan mereka dengan bahasa Indonesia.

“Jangan sampai deh mereka ke Indonesia, bisa stres!” celetuk saya, yang kemudian kesal sendiri mendengar turis yang meributkan hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi di negara asal mereka.

Bus memang berhenti di beberapa tempat di sepanjang jalan, sehingga penumpang berganti setiap kali. Namun, yang naik selalu lebih banyak daripada yang turun, karena ketika itu sudah masuk pertengahan April, di mana suhu telah menghangat dan itu berarti kawasan Pesisir Amalfi mulai dipadati turis. Di Amalfi, begitu turun dari bus, karena tergoda melihat julangan Katedral Amalfi yang memadukan gaya Romanesque, Byzantium, Gotik, dan Barok, kami pun memutuskan mampir. Tadinya kunjungan ke Amalfi akan dilakukan sepulang dari Ravello, namun karena habis tergoncang-goncang di dalam bus yang penuh sesak, kami memutuskan untuk menghirup udara segar dulu sambil makan gelato dan mengagumi Katedral Amalfi dari dekat.

Tua dan Mungil

Bus dari Amalfi ke Ravello berdurasi sekitar 20 menit dan berhenti tak jauh dari gerbang alun-alun (piazza) Katedral (Duomo) Ravello yang dikelilingi kafe dan toko suvenir. Katedral ini dibangun pada 1086, namun seiring waktu mengalami renovasi dan penambahan di sana-sini, sehingga yang tampak sekarang adalah hasil pembangunan pada abad 16. Walau begitu, pintu tembaganya masih orisinal dari tahun 1179. Karena letaknya yang tersembunyi di perbukitan, Ravello sendiri dulu merupakan suaka dari serangan bangsa barbar yang kemudian menjadi awal dari runtuhnya Kekaisaran Romawi. Pada abad 9, Ravello merupakan kota maritim di Republik Amalfi yang makmur karena dikuasai para pedagang yang mendominasi perdagangan di Laut Tengah maupun di keseluruhan wilayah Italia, sebelum kalah bersaing dengan republik maritime lain di Italia utara, seperti Pisa, Venesia, dan Genoa.

Nama Ravello selalu dihubung-hubungkan dengan komposer Jerman Richard Wagner yang pada 1880 mendapatkan inspirasi untuk menuliskan babak kedua dari operanya yang berjudul Parsifal ketika berkunjung ke taman di Vila Rufolo, yang pintu masuknya berada tak jauh dari Duomo. Wagner telah memulai menuliskan Parsifal pada 1857, jauh sebelum ia berkunjung ke Ravello. Selama lebih dari 20 tahun, karya tersebut dibiarkan tak selesai karena ia mengalami artistic block untuk menyelesaikan babak kedua, yang merupakan babak paling penting dalam opera Parsifal.

Rasa penasaran akan kecantikan Vila Rufolo, terutama tamannya, adalah alasan utama kami ke Ravello. Kalau seorang komposer besar yang sedang mengalami kebuntuan ide saja dapat terobati dengan berkunjung ke Vila Rufolo, pastilah tempat itu istimewa. Setelah membayar tujuh euro per orang, kami disambut bangunan megah dari batu yang menggabungkan arsitektur Arab dan Byzantium. Musik klasik mengalun lembut dari pengeras suara yang diletakkan di beberapa tempat. Tersedia walking tour yang dipandu oleh pengelola tempat, namun tentu saja sesudahnya pengunjung dapat menjelajahi sendiri ruangan atau bagian-bagian rumah yang diinginkan.

* Baca selengkapnya di majalah Panorama edisi Februari – Maret 2018. 
Teks: R. Kurniawan