
Kesalahan Terindah di Togian
Salah satu kesalahan merencanakan perjalanan ke Kepulauan Togian – atau Togean – adalah tidak mengecek peta terlebih dulu letak pulau yang ingin dikunjungi. Namun tak ada kesalahan tak termaafkan di tempat seindah gugusan pulau di Teluk Tomini, yang mungkin fotografer fashion ternama sekelas Patrick Demarchelier akan terinspirasi untuk menghasilkan masterpiece-nya di sini.
Hari itu kapal kayu berangkat dari Ampana pukul 10:00, telat satu jam dari jadwal karena menunggu penumpang penuh seperti angkot. Ampana sendiri adalah kota kecil di timur Palu yang ditempuh dengan jalan darat, tersedia mobil travel, selama 10 hingga 12 jam melewati Poso, tergantung keadaan jalan. Tentu saja, karena keterbatasan transportasi, operator kapal berusaha mengeruk keuntungan dengan memuat sebanyak mungkin penumpang dan sesuai negosiasi di atas kapal serta tambahan uang, rute dapat diubah sesuai kesepakatan dengan sang kapten. Perjalanan dari Ampana ke Wakai, pelabuhan terbesar di Kepulauan Togian, melewati perairan tenang dengan pulau besar-kecil di sepanjang jalan. Karena cuaca cerah dan langit biru, perairan pun ikut merefleksikan warna biru.
Tidak Jelas
Saya berkenalan dengan rombongan keluarga yang tinggal di Wakai dan habis berobat ke Palu, keluarga Perancis – sepasang suami istri dan dua anak perempuan yang beranjak remaja – yang akan turun di Wakai untuk menginap di Blue Marlin Dive Resort yang terletak di Pulau Kadidiri, dan pasangan turis dari Spanyol yang akan menginap di akomodasi yang sama dengan saya di Pulau Waleakodi, yaitu Sifa Cottage.
Kapal kayu ini tak memiliki warung yang menjual makanan untuk makan siang atau mengudap. Untung berbagi makanan menjadi kebiasaan warga Indonesia di mana pun, sehingga ketika jam makan siang tiba, keluarga yang baik hati itu menawari saya untuk ikut mengambil sedikit nasi dan lauk-pauk yang mereka bawa di rantang.
Wanita yang menjual tiket di konter pelabuhan mengatakan kalau hari itu kapal tidak ke Malenge, pulau terdekat dengan Waleakodi, yang telah disarankan pemilik Sifa Cottage ketika kami berkoresponden lewat email. Ketika saya tak jadi membeli karena rute tidak sesuai dengan tujuan yang saya inginkan, ia terus membujuk saya agar tetap membeli tiket kapal karena tempat tujuan saya dapat dimasukkan di dalam rute dengan membujuk sang kapten. Karena saya tak punya banyak waktu, saya terbujuk rayuannya.
Ia kemudian menggiring saya ke kapal untuk mempertemukan dengan sang kapten, yang ketika itu sedang berbicara serius dengan para awaknya, sehingga saya disuruh mencari tempat duduk. “Duduk dulu, nanti kalau kapal sudah jalan, baru bisa berbicara dengan kapten,” ujar sang wanita penjual tiket, sepertinya ia ingin cepat-cepat meninggalkan saya. Sebelum kapal melaju menjauhi daratan, agar pesanan kamar saya tidak dibatalkan, cepat-cepat saya mengirimkan pesan singkat lewat ponsel ke Sifa, pemilik Sifa Cottage bahwa saya akan tiba di Malenge hari ini, walau belum pasti dan tidak tahu akan tiba pukul berapa. Entah pesan itu terkirim atau tidak, mengingat di emailnya saya diwanti-wanti Sifa, bahwa di Waleakodi tidak ada sinyal.
Seni Negosiasi
Ketika setengah penumpang kapal turun di Wakai dan mengucapkan selamat berpisah kepada keluarga Perancis yang akan berlibur di Pulau Kadidiri, saya pun mengajak sepasang turis Spanyol untuk ikut turun dari kapal dan mencari tukang penjaja makanan karena entah masih berapa lama lagi kami harus duduk di dalam kapal. Setelah membeli nasi kuning, air mineral kemasan, dan biskuit, kami kembali ke tempat duduk. Karena kini setidaknya setengah penumpang telah turun di Wakai, area penumpang jadi lebih lega dan saya dapat melihat ke ruang kemudi. Di balik pintu kaca ruang kemudi, tampak beberapa orang mengerumuni sang kapten kapal. Mungkin mereka mencoba membujuk kapten untuk menurunkan mereka di pulau tujuan mereka yang tidak termasuk dalam rute kapal di hari itu.
“Saya ingin ke Waleakodi, di mana saya bisa turun yang terdekat yang dilalui rute kapal hari ini?” tanya saya dengan seramah mungkin.
“Dari Malenge, Waleakodi masih satu jam naik katingting (kapal kayu bermotor). Yang terdekat dengan Waleakodi adalah Milok, tapi kita tidak ke sana. Dari Wakai akan langsung ke Dolong. Menginap saja di Dolong, baru besok pagi ke Milok,” saran sang kapten dengan enteng.
Pukul sepuluh malam lebih sedikit, kapten menyuruh kami berempat bersiap-siap karena akan segera merapat di Milok. “Ayo cepat berkemas, kalian harus cepat turun karena kapal tak bisa berhenti lama-lama!” hardik sang kapten yang mengingatkan saya kepada supir metromini sebelum menurunkan penumpang. Tak ada lampu di pelabuhan maupun satu orang pun terlihat, selain tak ada plang yang bertuliskan kalau ini benar pelabuhan di Milok. Mungkin saya menjadi orang paling menyebalkan sekapal karena terlalu sering bertanya, namun kali ini, saya benar-benar ingin segera turun dari kapal setelah 12 jam hanya duduk dan menunggu kepastian.
Akhirnya, Waleakodi!
Sifa, pemilik penginapan terkejut mengetahui ada sebuah kano merapat di pantainya. “Saya kira kalian tidak jadi datang! Setelah menerima SMS dari Mbak, saya langsung mengirim staf ke Milok dan ia menunggu di sana sampai hari gelap. Kalau sudah gelap, biasanya sudah tidak ada kapal dari Ampana yang merapat,” jelasnya dengan penuh penyesalan. “Kalian pasti lapar!” lanjut Sifa sambil memerintahkan staf dapurnya untuk mengeluarkan sisa makan malam. Sambil melahap makanan yang telah dihangatkan dan bir dingin, perut yang kenyang perlahan membuat kami menemukan kembali selera humor masing-masing. Pengalaman hari itu mengajarkan saya akan pentingnya riset menyeluruh sebelum berangkat ke tempat terpencil.
Lewat tengah malam, kami diantar ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Sifa hanya memiliki sekitar delapan cottages yang terbagi ke dalam Standard, Exclusive, dan Luxe, di mana perbedaannya terletak pada luas kamar dan model kamar mandi. Semua kamar mandi di dalam cottage, bukan model sharing, namun di tipe Standard dan Exclusive, model kamar mandinya menggunakan bak dan model toiletnya yang jongkok, sedangkan tipe Luxe menggunakan shower dan model toilet duduk.
Terbangun di Surga
Pagi itu saya terbangun pukul 09:00 kurang sedikit. Mengecek ponsel, tidak ada sinyal, sehingga kemudian untuk menghemat baterai, saya memilih untuk mematikannya. Ketika membuka pintu kamar, langit cerah dan perairan hijau-biru hanya beberapa langkah dari cottage saya. Masih mengenakan baju tidur, saya menghambur ke pantai tanpa alas kaki melewati hamparan pohon kelapa. Apa yang mereka katakan tentang Kepulauan Togian semua benar, tempat ini memang surga. Pantai di depan Sifa Cottages memang tidak panjang, namun cukup bagi para tamunya untuk menemukan spot masing-masing.
Sebelum berangkat ke Palu untuk menuju Ampana dan Kepulauan Togian, saya menonton kembali Sex and the City episode ketika Carrie Bradshaw difoto mengenakan baju pengantin untuk majalah Vogue. Di episode tersebut, Demarchelier muncul sebagai cameo dan memerankan fotografer yang memotret Carrie ketika menjadi model beberapa gaun pengantin rancangan desainer ternama.
Melihat pantai berpasir putih yang dikelilingi pohon kelapa, saya tak kuasa berimajinasi, seandainya Dermarchelier melakukan pemotretan gaun-gaun couture Dior dengan Gigi Hadid untuk Vogue dan Harper’s Bazaar di Waleakodi. Pulau subur yang masih tertutup hutan dan tebing batu kapur ini memang eksotis dan akan tampak lebih indah di tangah seorang fotografer fashion kenamaan.
Untung saya baru tiba semalam di Waleakodi, sehingga masih punya banyak waktu untuk berkhayal dan memutuskan kegiatan apa saja yang ingin saya ikuti yang ditawarkan. Bagi para tamunya, akomodasi ini menyediakan perjalanan untuk snorkeling, scuba diving, dan menuju. Menurut Sifa, yang tak boleh dilewatkan ketika berkunjung ke Togian adalah pergi ke Danau Mariona, sebuah danau misterius di Pulau Katupat yang berisi ubur-ubur tanpa sengat seperti yang terdapat di Pulau Kakaban, Kalimantan Timur. Mariona sendiri namanya diambil dari Marion, nama turis pertama yang diajak penduduk setempat ke danau ini, yaitu sekitar 2011, kemudian kembali dengan perlengkapan scuba untuk menyelidiki isi danau dan kemudian merekomendasikan kepada penduduk setempat untuk mempromosikan danau ini sebagai atraksi baru. Berada di tempat seindah Kepulauan Togian, siapa pun akan langsung lupa bahwa untuk perjalanan ke sini sangatlah panjang, walau banyak hal untuk ditertawakan sesudahnya.
Teks: Petrus S.
Foto: Asri & Fransiska Anggraini
Artikel lengkap bisa dibaca di majalah Panorama edisi April-Mei 2016