TOP

Bertemu Anna Wintour

Sabtu itu di Greenwich Village, mendengarkan kisah seorang sahabat bertatap muka dengan Anna Wintour, Madonna-nya dunia fashion, seorang ikon yang dipuja sekaligus dibenci.

 

Malam itu, datang sepucuk email dari sahabat saya yang tinggal di New York. Email itu hanya berisi satu kalimat, yaitu “Anna Wintour wants to see me for a job interview!”

Anna Wintour adalah editor-in-Chief majalah Vogue Amerika sejak 1988 dan merupakan salah satu sosok paling berpengaruh di dunia fashion karena ia yang memutuskan apa yang akan tren dan apa yang telah ketinggalan zaman di setiap musim, terutama yang terangkum dalam setiap edisi September. Merupakan sosok yang kontroversial karena dituding aktivitas pecinta binatang sebagai yang membuat tren maraknya penggunaan bulu sebagai busana, namun tak dapat dipungkiri bahwa ia memiliki insting untuk membuat sesuatu menjadi tenar. Ia juga punya andil membesarkan nama Marc Jacobs dan Alexander McQueen, selain ia jugalah yang memulai menjembatani antara perancang dan ritel. Pada 2006, ia membuka jalan bagi perancang baju pria Thom Browne dan Brooks Brothers untuk karya-karya mereka dijual di 90 toko ritel. Dingin dan bertutur kata pedas, ia lah sumber inspirasi tokoh Miranda Priestly dalam The Devil Wears Prada.

 

2

Diwawancara Legenda

Telah dua tahun terakhir ini sahabat saya yang bekerja di bidang Hubungan Masyarakat (Public Relations) itu ingin terjun ke dunia fashion, setelah ia berhasil menggelar fashion show untuk peluncuran produk salah satu kliennya. Menurutnya, tak ada tempat untuk terbaik untuk mengawali karir di fashion selain majalah Vogue yang mengklaim sebagai Bible-nya dunia fashion.

Sabtu siang itu saya tiba di Penn Station, stasiun di bawah tanah Pennsylvania Plaza yang dinobatkan sebagai stasiun Amtrak tersibuk di Amerika Serikat. Seperti setiap kali mengunjungi sahabat saya di New York, saya nyaris tidak membawa apa-apa. Hanya pakaian yang menempel di tubuh, karena saya menyimpan beberapa pakaian di apartemennya dengan beberapa perlengkapan mandi. Kami rata-rata bertemu sebulan sekali, entah saya yang berkunjung ke New York atau ia yang mengunjungi saya di (Washington) DC.

“Kamu pakai baju apa? Anna tanya-tanya apa saja? Posisi apa yang ditawarkan? Did you get the job?” berondong saya, sesaat sahabat saya melangkah masuk ke Cuba (www.cubanyc.com), restoran Kuba favorit kami di Greenwich Village yang terletak antara SoHo dan West Village, serta tak jauh dari Meatpacking District dan East Village. Walau New York adalah kota besar, namun berada di Greenwich Village, ke mana-mana bisa hanya tinggal berjalan kaki. Berbincang dengan pemilik restoran Cuba, ia memilih lokasi di Greenwich Village karena kawasan ini mengingatkannya kepada kota tua di Havana. Jadi selain di New York ada Little Italy, tepatnya di Lower Manhattan, kota ini juga memiliki Little Cuba di Greenwich Village.

3

“Setelah dikontak orang Vogue tentang panggilan wawancara dengan Anna Wintour, aku menelpon seorang teman yang bekerja sebagai stylist. Ia justru menyarankan untuk tidak mengenakan baju dari tren di musim yang baru berakhir, kemudian mengajak saya ke SoHo untuk belanja sepatu. Katanya, baju boleh biasa-biasa saja, namun sepatulah yang harus menjadi statement. Untung ada open-toed dengan stack heels Proenza Schouler yang sedang diskon, jadi aku beli untuk dipadankan dengan celana sutera high waisted Philip Lim dan tote hitam Celine pinjaman dari teman stylistku. Wawancara pukul 10:00 tapi sudah dari pukul 04:00 sudah terbangun dan tidak bisa tidur lagi. Aku muncul di hadapan Anna dengan dandanan natural, rambut ekor kuda, dan sengaja tidak memakai parfum,” cerocosnya setelah memesan Mojito dan ceviche sebagai hidangan pembuka, sementara untuk hidangan pembuka kami memesan churassco.

Saya terbahak-bahak mendengarnya. “Belum bekerja saja sudah stres, apalagi kalau nanti sudah diterima bekerja. Setiap hari harus memikirkan baju yang dikenakan ke kantor hanya supaya lolos dari makian bos!” celetuk saya.

Untungnya teman saya tidak lolos diterima bekerja di Vogue, majalah impiannya, sebagai asisten stylist. Menurutnya, ia gagal di pertanyaan tentang museum. Wintour menanyakan museum terakhir yang ia kunjungi dan karya apa di museum tersebut yang paling berkesan. Karena sudah lama tidak pergi ke museum, walau setidaknya terdapat 100 museum New York, dengan polosnya ia menjawab, “Maaf, sudah lama sekali saya tidak ke museum sampai tidak ingat.” Jawaban tersebut menurut sahabat saya cukup untuk membuat Wintour menolaknya bergabung dengan Vogue, namun menurut saya, ia tidak diterima karena belum punya pengalaman di bidang fashion.

 

Keliling Greenwich

Setelah menyantap menu-menu khas Kuba, kami berjalan menuju Washington Square Park. “Rumah Anna Wintour kan di daerah Greenwich Village. Siapa tahu kita bisa berpapasan dengan dia di taman!” Tentu saja hal tersebut hampir tidak mungkin. Kami terbahak membayangkan Wintour terlihat di Washington Square Park, tepatnya di bawah replica Arc de Triomphe yang dibangun 1895 menonton musisi jalan atau mengamati para remaja bermain skateboard. Karena letak Washington Square Park dekat New York University, kami pun tak dapat membayangkan dengan pandangan tajamnya Wintour mengkritisi penampilan para mahasiswa yang memang sering terlihat menghabiskan waktu di taman ini. Jadilah kami mencari spot di taman itu untuk bermain What Would Wintour Say alias semacam fashion police terhadap orang yang berlalu-lalang di sekitar kami sore itu.

 

Teks: Magda S.

Artikel lengkap bisa dibaca di majalah Panorama edisi April-Mei 2016