TOP

Dinasti di Antara Dua Sungai

Acapkali terlewatkan, desa-desa di Tampaksiring ternyata menyimpan sejarah sebuah dinasti yang melimpah, warisan budaya yang penuh dugaan, dan hikayat yang memikat.

Kecamatan Tampaksiring tidak setenar saudaranya, Ubud, meski keduanya terletak di kabupaten yang sama. Walau begitu, tak sulit untuk membayangkan mengapa dulu para nenek moyang memilih daratan subur ini untuk menjadi awal sebuah peradaban. Dua sungai elok dan tidak pernah kering, yaitu Petanu dan Pakerisan, mengalir dari kaki Gunung Batur dan mengairi sawah-sawah yang ditanami padi. Pada lembah-lembah di sekitar Desa Pejeng, sungai menjelma menjadi anakan dan mata air.  Peradaban Hindu percaya bahwa pura hendaknya didirikan dekat sumber air sebagai sumber penyucian dan sumber kehidupan. Buktinya tak hanya padi, karena ketinggian lahan Tampaksiring pun mendorong berbagai tanaman tumbuh subur.

Dinasti Penguasa Bali

Jauh sebelum penaklukkan Kerajaan Majapahit, Bali disatukan dalam satu kerajaan yang dipimpin Dinasti Warmadewa yang berkuasa selama kurang lebih dua abad. Adalah W.F. Stutterheim, seorang arkeolog Belanda yang melakukan penelitian intensif terhadap peninggalan-peninggalan di Tampaksiring dan sekitarnya. Ia menyimpulkan bahwa desa-desa di Pejeng dan tetangganya, Bedulu, dahulu merupakan pusat pemerintahan kerajaan. Berbagai artefak, bangunan, pura, hingga candi tebing di wilayahnya menjadi bukti yang kuat. Keberadaan Dinasti Warmadewa pun diketahui dari prasasti-prasasti dan peninggalannya.

Perjalanan menelusuri masa silam, sungguh sangat mengasyikkan walaupun mungkin tidak untuk semua orang karena perlunya penggalian informasi dan imajinasi untuk menghidupkan susunan-susunan batu yang membentuk sebuah candi atau pura, kecuali bila puranya fotogenik seperti Goa Gajah.

Goa ini pintu masuknya terbuat dari tonjolan dinding batu padas yang diukir oleh pahatan wujud tanaman dan binatang. Pintu masuknya menakutkan, seolah saat masuk, pengunjung akan dilahap oleh raksasa. Di dalam gua, terdapat sesosok patung Dewa Ganesha dan tiga buah arca lingga serta ceruk yang mungkin bekas untuk pertapaan atau tempat peristirahatan.

 

2

 

Desa Kuno Pejeng

Umumnya, wisatawan akan berhenti di Goa Gajah dan tidak meneruskan perjalanannya ke desa-desa yang lain. Kesalahan besar, tentunya. Sedikit lagi saja, pengunjung akan memasuki sebuah desa kuno bernama Pejeng. Jarang terdapat sebuah desa di Bali yang memiliki konsentrasi peninggalan sejarah yang padat di satu area yang sama. Bila dirunut ke sejarah, nama Pejeng pertama dikenal karena memiliki nekara perunggu terbesar di dunia. Begitu memesonanya nekara ini, hingga bahkan seorang seniman Belanda, W.O.J. Nieuwenkamp, nekat memanjat pura yang menyimpan artefak suci ini lantas mengukur dan menggambarkannya secara detail.

“Kami punya 67 pura di desa ini saja. Banyak arca-arca kuno disucikan dan dipuja di dalamnya. Hingga sekarang pun, masih ada petani yang saat mengolah sawahnya, tanpa sengaja menemukan arca,” ujar Dewa, salah satu pengelola situs web desa yang saya jumpai.

 

Candi di Lembah

Sejak mengetahui keberadaan Candi Tebing Kelebutan di Pejeng, saya jadi kerap mengunjungi Pejeng karena setiap kali ke sini dan berbincang dengan masyarakat setempat, selalu ada hal baru temukan di desa kuno ini. Walau telah berkali-kali ke Candi Tebing Kelebutan, tapi tetap saja ketika berjalan turun di anak-anak tangga yang licin oleh air dan lumut, saya masih dibuat terpana. Sesuai namanya, candi ini terpahat di dinding tebing dan diperkirakan dibangun pada abad 11 oleh Raja Anak Wungsu untuk menghormati mendiang ayahnya, Raja Udayana. Di atasnya, terdapat persawahan  dan semak-semak tumbuh menaungi pahatan relief berbentuk meru setinggi tiga meter. Bila ingin mendekat dan menyentuhnya, saya harus menyeberangi anak sungai kecil yang kerap didatangi penduduk Pejeng yang ingin menyejukkan diri. Di sini juga terdapat mata air yang jernih dan sejuk, sehingga menggoda saya untuk membasuh wajah.

 

ngalap-berkah

Pasar Senggol

Siang semakin terik, dan birunya langit tidak lagi meneduhkan tapi membuat ingin berlindung dari matahari. Maka, berjalanlah saya ke pasar senggol yang berada di tengah desa. Entah siapa yang menelurkan istilah tersebut, yang jelas, kadang memang makan di pasar ini, mau tidak mau mengharuskan berbagi bangku dan bersenggolan dengan sesama pengunjung. Persenggolan saya kali ini menghasilkan seporsi bubur khas Pejeng yang nikmat. Seporsi bubur putih hangat yang diberi sayur urap, lalu disiram oleh bumbu basa selem  yang terbuat dari kelapa parut yang disangrai, lalu ditumbuk dengan kacang, kemiri. Racikan basa gede khas Bali yang melimpah dengan tanaman herbal, dan yang terpenting, hanya diracik saat ada tamu yang memesan. Wangi bumbu dan kelapa memenuhi hidung, sementara perut saya dibuat hangat oleh bubur.

 

Teks & foto: Eve Tedja

Artikel lengkapnya dapat dibaca di majalah Panorama edisi September – Oktober 2016