Terasing di Ainokura
Berbekal Hokuriku Arch Pass, saya menuju Ainokura yang merupakan desa paling terpencil di Gokayama dengan panorama cantik berupa rumah-rumah tradisional berlatar perbukitan dan pegunungan.
Sore itu hujan turun deras, dan mobil yang saya tumpangi pun tak dapat melaju kencang melalui jalanan berliku dengan jurang di satu sisi dan lembah di sisi lainnya. Kabut yang menyelimuti tak hanya membatasi jarak pandang, namun juga membuat suasana semakin mistis.
“Takuya-san,” panggil saya ke pemandu, tak lama setelah saya terbangun dari tidur. “Kita sekarang di mana?”
“Gokayama di Prefektur Toyama. Sebentar lagi kita sampai di desa tempat kita menginap malam ini,” jawabnya.
Saya kemudian mengecek rencana perjalanan yang telah dibagikan beberapa hari sebelumnya, kemudian mengakses Google untuk mengintip foto-foto Gokayama. Sekilas, desa-desa di kawasan ini mengingatkan akan Shirakawa-go dengan rumah-rumah tradisional model gassho-zukuri (atap berbentuk tangan yang sedang berdoa). Namun tentu saja ada yang menarik dari desa ini sehingga saya diajak ke ini. Yntuk membuktikan hal itu, saya mesti menunggu hingga benar-benar tiba di lokasi.
Sekitar setengah jam kemudian, mobil berhenti di lokasi parkir khusus pengunjung desa. Dari sebuah papan penunjuk yang berada tak jauh dari situ, saya mengetahui bahwa nama desa ini Ainokura. Karena hujan masih deras, saya pun mengurungkan niat mengeksplorasi desa tersebut. Bersama tiga orang lainnya, dari tempat parkir kami menggeret koper ke Choyomon, nama gassho-zukuri yang menjadi rumah saya malam itu. Mengurungkan niat menjelajahi desa setelah check-in ternyata keputusan tepat, karena belakangan saya baru tahu bahwa turis dilarang berkeliaran di sekitar desa setelah matahari terbenam demi menjaga privasi penduduk setempat.
Tradisional Jepang
“Douzo, douzo,” sambut Yamasaki Mayumi, sang pemilik rumah setibanya saya di Choyomon. Saya pun segera melepas sepatu dan meletakkannya di rak, kemudian mengangkat koper dan barang bawaan lain ke kamar. Untuk menjaga kelestarian gassho-zukuri yang rata-rata sudah berusia satu hingga dua abad di Ainokura, tamu memang wajib menenteng koper alih-alih menggeretnya agar tidak merusak tatami (tikar khas Jepang) dan lantai kayunya.
Ruangan utama di rumah tersebut beralaskan tatami dengan perapian tradisional di tengahnya dan sejumlah alas duduk di sekelilingnya. Semua kegiatan, baik menonton televisi, membaca buku, hingga makan, dipusatkan di ruangan ini. Sementara ruang-ruang di samping ruangan utama difungsikan sebagai kamar.
Meski terkesan tradisional, beberapa ruangan ini sudah dilengkapi perabotan modern. Toiletnya yang jauh lebih canggih ketimbang toilet di mal-mal mentereng di Jakarta dengan berbagai fitur inovatif khas toilet Jepang. Sementara kamar mandinya mengikuti budaya Jepang, di mana dalam satu ruangan terdapat dua shower dan satu bathtub. Bila kebetulan keluarga Jepang yang menginap, biasanya anggota keluarga dapat bergantian menggunakan shower tersebut untuk membersihkan tubuh sebelum berendam. Karena air untuk berendam digunakan untuk seluruh anggota keluarga, sehingga penting untuk menjaganya agar tetap bersih.
Malam itu, Mayumi menyiapkan makanan yang bahannya ia panen sendiri dari kebun dan sawah di seberang rumahnya, mulai dari beras hingga sayuran. Ikannya, yang disajikan mentah dalam irisan tipis maupun dibakar di perapian, pun ditangkap oleh sang suami di sungai terdekat. Sementara jamur yang terhidang malam itu merupakan jamur liar yang tumbuh di hutan di sekitar desa. Mengetahui semua itu membuat saya serasa sedang bersantap di Noma, salah satu restoran terbaik di dunia milik Chef Rene Redzepi yang juga menggunakan bahan-bahan eksotis dari sekitar lokasi restorannya.
Meski tak fasih berbahasa Inggris, Mayumi yang ikut menemani kami makan tampak antusias akan kedatangan para tamunya. Tak seperti orang Jepang lainnya yang lebih memilih diam karena tidak percaya diri dengan bahasa Inggris mereka, Mayumi tak segan mengobrol dengan para tamunya. “Indonesia? Sudah lama saya ingin ke Bali!” serunya saat saya menyebutkan negara asal saya. Sebagai tuan rumah yang baik, ia juga menceritakan berbagai hal menarik mengenai desanya dan menyarankan untuk tidak melewatkan Ainokura Folklore Museum.
* Baca selengkapnya di Majalah Panorama edisi Oktober – November 2018.
Teks: Melinda Yuliani