TOP

Cinta dan Benci di Kuba

Kota-kota cantik yang bagai berada di masa lalu dengan mobil-mobil kuno dalam aneka warna dan pria-pria tampan yang berseliweran, Kuba lebih dari sekadar minuman Cuba Libre yang eksotis.

Pesawat mendarat mulus di Jose Marti International Airport di ibukota Havana. Paspor saya ternyata tidak dicap oleh Imigrasi. Seperti Israel, Kuba memilih untuk melindungi turis agar tidak bermasalah di negara lain.

Kuba adalah salah satu negara komunis yang masih tersisa. Walau diembargo Amerika Serikat, negara ini perlahan membuka diri. Pariwisata telah menggiatkan perekonomian negara yang rata-rata penghasilan penduduknya hanya 22 dolar Amerika Serikat per bulan ini.

Keluar dari bandara, saya disambut oleh segerombolan supir taksi yang menawarkan jasanya. Selain wajah yang ganteng, mobil-mobil taksinya pun tak kalah rupawan karena berupa mobil buatan Amerika klasik, seperti Chevrolet buatan tahun 1957, Ford 1953, Dodge 1958. Sejak embargo yang dilakukan Amerika Serikat, Kuba tidak memiliki mobil dan suku cadang sehingga mobil-mobil yang ada sejak tahun 1950-an dimodifikasi dan dipelihara dengan baik.

Mengagumi Havana

Mobil bergerak menuju pusat kota Havana yang berjarak 25 kilometer dari bandara. Saya langsung merasa terlempar ke dalam sebuah mesin waktu dan mendarat di tahun 1960-an: mobil kuno berseliweran di antara bangunan tua yang dirimbuni pepohonan. Havana adalah kota yang cantik. Di beberapa sudutnya bahkan seperti Eropa yang dipenuhi bangunan bergaya kolonial dan Baroque yang berpadu dengan arsitektur neoklasik dan Art Deco.

Pantas saja Kuba dinobatkan menjadi satu-satunya negara yang paling ramah lingkungan menurut WWF berkat jarangnya pembangunan dan kendaraan. Papan reklame yang banyak tertancap di kota-kota besar juga tidak kelihatan. Yang ada adalah papan berisi propaganda pemerintah dengan menggunakan cat kuas, bukan hasil cetak digital. Salah satunya papan bergambar Che Guevara, yang kalau diterjemahkan tertulis, “Terima kasih atas jasamu, Che!”, yang mengingatkan saya akan masa pemerintahan Soeharto dengan kampanye Bapak Pembangunan-nya.

Di daerah Centro Habana, taksi menurunkan saya di depan rumah bertingkat dua yang berusia ratusan tahun. Di depannya tergantung plang kecil bersimbol semacam jangkar berwarna biru, tandanya rumah tersebut telah mendapat lisensi dari pemerintah untuk menampung orang asing – istilahnya dalam bahasa setempat adalah casa particular. Dulu Kuba memiliki “tourist apartheid” di mana orang lokal tidak boleh menginap di hotel turis. Untungnya peraturan tersebut kemudian dihapus di tahun 2008.

Seorang nenek yang sedang merokok mempersilakan saya masuk. “Nicolas sedang tidak di tempat. Saya pembantunya. Saya berumur 74 tahun dan baru dua tahun bekerja di sini,” kata Marti. Tak terbayang di Indonesia ada yang melamar kerja pada umur 72 tahun! Kuba memang memiliki tingkat harapan hidup yang tinggi karena sistem kesehatan dan kualitas dokter yang sangat baik – dan gratis!

 

Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Mei-Juni 2014.

Teks Trinity