TOP

Asia yang Sangat Amerika

Warganya berdandan modis ala Paris, sementara di kota-kotanya yang dipenuhi bangunan kaku peninggalan Uni Soviet memuat banyak kedai kopi, bar, dan restoran bernama yang identik dengan Amerika Serikat. Selamat datang di Kyrgyzstan!

Teks Fabiola Lawalata


 

Deretan ruang tunggu di terminal keberangkatan Istanbul dipenuhi para calon penumpang yang menuju berbagai destinasi eksotis. Di monitor jadwal keberangkatan tertera nama-nama kota yang jarang diulas lembaran majalah-majalah wisata, seperti Tashkent, Bishkek, Astana, Dushanbe, dan Ashgabat. Telah lama saya ingin mengunjungi berbagai negara dengan nama berakhiran “-stan” yang sempat bergabung di bawah kekuasaan Uni Soviet, sehingga senang sekali akhirnya siang itu saya bersiap terbang selama lima jam dari Istanbul menuju Bishkek.

Ternyata pesawat hanya diisi beberapa penumpang saja: ada yang berambut gimbal bak hippies, ada sekelompok musisi Turki, dan sisanya pria setengah baya berkebangsaaan Amerika Serikat. Hingga pertengahan tahun 2014, Kyrgyzstan masih berfungsi sebagai pangkalan militer Amerika Serikat. Walau merupakan salah satu negara terkecil di Asia Tengah, namun Kyrgyzstan yang paling terbuka untuk dikunjungi turis. Hal ini dibuktikan dengan akses bebas visa bagi para pemegang paspor Uni Eropa, sementara negara-negara tetangganya masih meminta surat undangan sebagai salah satu persyaratan pembuatan visa. Itu pun belum tentu disetujui.

Akhirnya, Bishek!

Bishkek bukan Istanbul. Ibukota Kyrgyzstan ini relatif baru sehingga situs sejarahnya tidak banyak. Memang bukan sejarah yang ditawarkan kota ini, melainkan panorama kota yang membuat terpana karena dibingkai deretan pegunungan dengan puncak bersalut salju. Walau begitu, bagi yang tertarik mengenal Kyrgyzstan, tersedia Museum Sejarah di Ala-Too Square yang memberikan gambaran tentang masyarakat Kyrgyz mulai zaman batu, invasi Mongol, hingga simbol nasional dan pakaian tradisional Kyrgyz yang ternyata dapat dibedakan antara yang berasal dari gunung dan daerah dataran rendah.

Karena merupakan bekas bagian Soviet, Museum Sejarah ini pun menghadirkan patung-patung Lenin, Marx, dan Engels, walau tidak banyak narasi yang informatif mengenai periode ini. Pemandu museum pun sepertinya tidak suka ketika saya tanyai tentang masa-masa pemerintahan komunis Soviet di Kyrgyzstan. Walau tetap sopan, ia tidak memberikan jawaban yang jelas atau mengalihkan pertanyaan ke informasi yang lain. Sepertinya ia – mungkin masyarakat Kyrgyzstan yang lain pun sama – ingin menutup rapat kenangan pahit tersebut.

 

Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi November/Desember 2014.