TOP

Menanti Fuji-san

 

Walau dapat sekadar day-trip dari Tokyo, namun bila ingin menatap puncak Fuji-san, sang sumber inspirasi, dari Hakone mungkin tak cukup hanya satu hari. Maklum, Fuji-san memang suka malu-malu menampakkan dirinya dan lebih suka bersembunyi di balik gulungan awan. 

 

Pagi itu Stasiun Shinjuku hiruk-pikuk seperti biasa. Saya menerobos keramaian masyarakat Tokyo yang bergegas menuju tempat kerja. Ingin rasanya meledek mereka yang mayoritas terbalut setelan jas licin itu, sementara tubuh saya dibalut holiday mood. Di tengah keramaian, mata saya berusaha menemukan plang petunjuk menuju peron tempat Romance Car akan berangkat ke Stasiun Hakone-Yumoto di jalur Odakyu.

 

Menikmati Romancecar

Romancecar adalah kereta yang didesain khusus dengan jendela yang luas untuk menikmati pemandangan. Karena kereta akan melewati pemandangan indah yang biasanya akan cepat membuat melankolis, mungkin begitulah kira-kira mengapa nama kereta canggih ini Romancecar, begitu penjelasan versi dari kondektur kereta listrik mewah ini yang tentu saja mengundang senyum spontan saya. Namun ketika memasuki interior kereta, rasanya saya tahu mengapa kereta mewah ini diberi embel-embel “romance”. Kursi yang ada konfigurasinya terdiri dari dua kursi di baris kiri maupun kanan, dengan kursi yang tanpa dibatasi oleh armrest sehingga bila duduk di situ bisa saja saling bersandar bagi para pasangan.  

Begitu Romancecar melambat dan akhirnya berhenti di Stasiun Hakone-Yumoto, di rel sebelah tampak sebuah kereta kuno berwarna merah, yang ternyata merupakan kereta yang akan melalui Hakone Tozan Railway, jalur kereta pegunungan tertua di Jepang yang menembus jalur sempit di lembah berhutan lebat dan melewati terowongan dan jembatan tua. Dengan rute dari Hakone-Yumoto ke Gora selama 35 menit, dari sini penumpang dapat pindah untuk naik kereta gantung menuju Danau Ashi, yang juga merupakan tujuan saya siang itu. Namun saya tidak berencana naik kereta kuno itu ke Danau Ashi karena ingin makan siang dan berjalan-jalan dulu di sekitar Stasiun Hakone-Yumoto. Lagipula saat terbaik untuk naik kereta kuno menuju Gora tersebut adalah Juni hingga Juli, ketika ribuan bunga hydrangea (masyarakat setempat menyebutnya ajisai) sedang bermekaran di sepanjang jalur.

Stasiun Hakone-Yumoto terintegrasi dengan jembatan yang mengarah ke sejumlah toko, restoran, dan bar. Karena merupakan kota kecil yang dikelilingi pegunungan, maka menyenangkan berjalan-jalan di sini. Walau matahari tergolong terik di musim gugur itu, namun tidak terasa panas, sehingga nyaman untuk keluar-masuk gang. Tak jauh dari Stasiun Hakone-Yumoto terdapat sebuah sungai berbatu-batu yang kerap digunakan para warganya, terutama anak muda berpasangan, untuk duduk-duduk sambil mencelupkan kaki. Tipikal sungai di Jepang, sungai ini pun bersih tanpa ada sampah sedikit pun.

 

Mampir di Hakone Sekisho

 

Terus berjalan menyusuri jembatan di atas sungai dan memasuki jalan berbatu dan kawasan perumahan yang tertata rapi. Dengan router sewaan – disewa ketika mendarat di Bandara Haneda seharga antara 1000 – 1530 yen per hari– dengan aplikasi Google Map, saya mencari Hakone Sekisho, sebuah museum hidup bekas salah satu rest area terbesar dan terpenting dalam jalur Tokaido kuno yang menghubungkan Tokyo dan Kyoto (buka setiap hari pukul 09:00 – 17:00, tiket masuk dewasa 500 yen dan anak-anak 250 yen). Setelah membayar tiket masuk, tersedia seorang pemandu yang akan menerangkan berbagai peninggalan zaman Edo di Hakone Sekisho. Namun sayangnya pemandu hanya bisa berbahasa Jepang, sehingga harus mereka-reka apa yang diterangkan dengan melihat keterangan yang ada di situs, di mana sebagiannya ada yang menggunakan bahasa Inggris.

 

Hakone Sekisho awalnya dibangun untuk mencegah penyelundupan senjata ke Edo dan kaburnya para wanita serta anak-anak dari Edo (nama Tokyo di masa lalu).  Zaman Edo yang merupakan masa keemasan Jepang karena perang saudara telah berakhir membuat warga Jepang berani berkelana menjelajahi negerinya. Tokaido adalah jalan yang menghubungkan Tokyo dan Kyodo serta merupakan jalan pertama di Jepang yang dijaga ketat keamanannya.

 

Menurut Google Map, dari Hakone Sekisho ke pelabuhan feri di Togendai-ko di Danau Ashi – atau Ashinoko masyarakat setempat menyebutnya – dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 10 menit. Danau Ashi sendiri merupakan kaldera dari sebuah gunung purba pada ketinggian 723 meter di atas permukaan laut. Sepanjang 6,5 meter, danau ini menyediakan fasilitas kapal sightseeing yang mirip kapal bajak laut dengan pilihan kapal bernama Royal II, Vasa, dan Victory untuk menikmati keindahan alam sekelilingnya, termasuk memandangi puncak Gunung Fuji. Pelayaran berawal di Togendai-ko dengan keberangkatan setiap hari mulai pukul 09:30 hingga 17:00 dan rata-rata setiap 30 menit (harga tiket pp 1.840 yen untuk dewasa untuk pelayaran selama 35 menit (tiket satu arah 1000 yen) dan 910 yen untuk anak-anak). Tergantung musim, di sepanjang jalan akan tampak jenis tumbuhan yang berbeda-beda.

 

Lembah Mendidih

 

Merupakan area vulkanik yang dapat ditempuh dengan kereta gantung (ropeway) dari Danau Ashi, Owakudani terbentuk akibat letusan Gunung Hakone sekitar 3000 tahun lalu. Tempat ini sekilas mengingatkan akan Kawah Putih Ciwidey di selatan Bandung yang dipenuhi kolam-kolam belerang yang mengepul dan menebarkan aroma sulfur. Namun yang membedakan adalah telur rebus hitam yang dijual di mana-mana di kompleks taman wisata Owakudani ini. Telur ayam yang direbus di mata air panas di sini akan berubah menjadi hitam akibat reaksi air dengan hidrogen sulfat (H2S), sesuai dengan arti harafiah Owakudani yang berarti lembah mendidih. Masyarakat setempat percaya bahwa bila memakan telur hitam ini setiap butirnya dapat memperpanjang umur selama tujuh tahun. Oleh karena itu, banyak gerai di Owakudani yang menawarkan sebungkus telur hitam isi lima butir seharga 500 yen. Sambil mengudap telur yang cangkangnya hitam, bila cuaca cerah, Fuji-san yang megah pun dapat terlihat dari sini. Sore itu hari cerah dan tak hanya penuh turis, warga sekitar Jepang pun banyak yang jogging dan membawa anjing mereka berjalan-jalan di sini, selain tentu saja pasangan remaja yang saling bergandengan tangan.

 

Menginap di Ryokan

Sore itu saya tiba di Hakone Hotel Kowaki-en yang sebagian bangunannya berstatus sebagai National Registered Cultural Properties karena merupakan bangunan bersejarah dan dikelilingi taman bergaya Jepang seluas 16.000 meter yang dibangun pada 1914. Akomodasinya terdiri dari kamar hotel modern bergaya Barat dan bergaya tradisional Jepang (ryokan), di mana antara ruang tamu dan ruang tidur disekat dengan pintu dorong yang eksotis. Saya tentu saja memilih yang bergaya tradisional supaya dapat menikmati tidur beralaskan futon yang digelar di atas tatami hangat. Karena berada di kawasan mata air panas, hotel ini pun memiliki fasilitas onsen atau pemandian komunal air panas.

Hari itu dari atas kapal yang berlayar di atas Danau Ashi, saya belum dapat melihat Fuji-san karena cuaca yang berawan. Sebelum tidur malam itu saya berharap agar ketika membuka jendela di pagi hari, sang gunung nan agung bersedia menampakkan dirinya. Walau hanya beberapa menit.

 

Teks & Foto Fransiska Anggraini

 

Selengkapnya di majalah Panorama edisi Maret/April 2015