TOP

Stockholm: Sosis, Sandwich dan Seafood

Pippi Longstocking, tokoh rekaan dalam serial buku anak-anak karangan penulis Swedia Astrid Lindgren yang superkuat itu ternyata juga gemar makan dan memasak. Tak heran, hal ini karena  Swedia, tepatnya Stockholm, merupakan pusat gastronomi negara-negara Skandinavia

Sehari Penuh

Berlokasi di pesisir timur Swedia dan menghadap Laut Baltik yang tenang, kota yang berusia lebih dari tujuh abad ini tersebar di 14 pulau yang masing-masing terhubung oleh jembatan. Di hari cerah, bar dan kafe di tepi laut dipenuhi pengunjung yang ingin menikmati hidangan musim panas favorit mereka, seperti ikan herring (disajikan dalam berbagai cara) dan toast skagen (udang dalam mayones yang disajikan dengan roti gandum hitam). Di mana pun kaki melangkah, turis akan menjumpai tempat makan dengan kuliner dan kebudayaan Nordik.

Berdekatan dengan Kutub Utara, Stockholm di musim panas memiliki siang yang lebih panjang. Matahari bersinar dari sekitar pukul 03:30 dan baru terbenam setelah pukul 22:00 membuat saya dapat mengeksplor kota ini dengan lebih leluasa. Berhubung tujuan utama adalah wisata kuliner, saya bertekad mengunjungi sejumlah destinasi kuliner terbaik di Stockholm.

Matteo, salah satu staf hostel yang ramah dan fasih berbahasa Inggris, menjelaskan bahwa penduduk setempat gemar menikmati makanan segar dan organik, dan alih-alih restoran, ia mengklaim justru saluhall (atau food hall dalam bahasa Inggris) yang tak pernah sepi pengunjunglah yang merupakan tempat terbaik untuk bersantap. Setiap kawasan memiliki versi saluhall-nya sendiri, namun yang paling terkenal di Stockholm adalah Östermalms Saluhall di Östermalm.

Östermalmshallen

Melewatkan sarapan di hostel pada hari berikutnya, saya berjalan kaki menuju Östermalms Saluhall dengan bantuan GPS pada ponsel. Membaca sekilas dari buku panduan, rupanya saluhall yang sudah beroperasi sejak 1888 ini merupakan salah satu landmark ikonik Stockholm. Jarang turis yang melewatkan tempat ini, bahkan Jamie Oliver menyebut Östermalms Saluhall sebagai tempat favoritnya bila berkunjung ke Stockholm.

Dengan eksterior luar berupa batu bata merah, bangunan Östermalms Saluhall yang sangat besar ini lebih mirip gudang atau pabrik di masa lalu yang berubah fungsi menjadi museum. Tertera papan petunjuk berwarna biru dengan tulisan ‘saluhall’ yang tertulis besar-besar dalam huruf berwarna emas di atas pintu masuknya.

Terdapat 22 outlet – mirip food court di mal, bukannya pasar yang semrawut – yang menjual berbagai sayuran dan aneka daging segar, seperti di Lisbeth Janson Frukt & Grönt dan Melanders Fisk & Vilt, hingga roti yang masih baru diangkat dari panggangan di Amandas Brödbod serta cokelat lezat di Betsy Sandbergs Choklad.

 

Seafood, seafood, dan seafood!

Setelah mengelilingi food hall tersebut sembari mengagumi etalase yang memajang saus, selai, dan sayuran hingga daging sapi, ikan, dan produk segar lainnya yang tampak menggiurkan, saya memutuskan untuk menikmati brunch di Tysta Mari. Restoran yang pertama kali beroperasi pada 1974 dan merupakan bagian dari grup restoran Melanders Fisk ini menyajikan aneka pilihan hidangan laut yang semuanya masih segar karena dikirim pada hari yang sama.

Mengawali menu siang itu dengan tiram mentah yang disajikan di atas tumpukan es batu dengan celupan saus Mignonette (campuran bawang, merica, perasan lemon, dry white wine, cuka sherry), rasanya mulut tak bisa berhenti menyeruput tiram langsung dari cangkangnya. Dagingnya memiliki tekstur lembut, juicy, dan sedikit manis, serta menebarkan aroma laut dan wine dari saus. Tak lupa saya menyeruput cairan asin yang tertinggal di cangkangnya.

Menyontek dari menu pilihan pengunjung di meja sebelah, saya memilih stekt strömming yang segera menjadi salah satu masakan Swedia favorit saya. Meski bukan penggemar berat ikan karena kadang tak tahan dengan aromanya yang amis, ikan herring Baltik goreng ini – meski memiliki aroma yang kuat, namun tak amis, terutama karena dinikmati bersama kentang tumbuk halus yang berlumuran mentega serta saus lingonberry dengan rasa manis dan asam. Satu porsi menu ikan tersebut langsung tandas dalam hitungan kurang dari sepuluh menit.

Banyak yang menyebut Östermalms Saluhall overpriced – untuk tiga hidangan tadi, tagihan saya mencapai 370 krona (sekitar Rp 540.000). Namun tempat ini tidaklah overrated, karena uang yang dikeluarkan setara dengan nikmatnya hidangan yang disajikan. Lagipula makanan di Stockholm – dan kota-kota di Skandinavia – memang relatif mahal dibandingkan di wilayah lain di Eropa. Rata-rata makanan per porsinya mulai dari 70 hingga 100 krona (Rp 100.000 hingga Rp 150.000). saya mengakhiri wisata kuliner Swedia siang itu di Östermalms Saluhall – tentu saja setelah membeli cokelat dan selai lingonberry untuk oleh-oleh – dan melanjutkan perjalanan ke tempat kuliner lainnya di Stockholm.

 

Akibat Tersesat

Karena salah membaca peta, bukannya mengarah ke barat daya melalui Humlegårdsgatan untuk menuju Hötorgshallen, saya malah ke utara melalui Nybrogatan. Setelah sekitar 300 meter berjalan kaki, barulah saya sadar dan berjalan kembali ke arah Östermalms Saluhall. Namun, dalam perjalanan kembali, saya sempat melihat jalanan buntu di sebelah kanan. Bukan jalanan tersebut yang menarik perhatian, melainkan kios makanan di ujung jalanlah yang membuat saya berbelok.

Östermalms Korvspecialist, demikian nama kios makanan mungil tersebut yang tertera pada papan tanda berlatar biru. Menjual hot dog (atau biasa disebut korv oleh penduduk lokal) dengan lebih dari 40 jenis sosis – mulai dari stockholmare, zwiebelwurst, hingga chorizo, belakangan saya mengetahui bahwa kios yang sudah beroperasi sejak 40 tahun yang lalu ini merupakan stand hot dog terbaik di dunia dan sering dimasukkan ke dalam buku panduan wisata dan kuliner, termasuk Where Chefs Eat: A Guide to Chefs’ Favourite Restaurants.

Bruno Fortkord, pemilik Östermalms Korvspecialist yang berambut putih dan keriting serta berkacamata, merekomendasikan kabanos untuk isiannya, yaitu sosis asal Polandia yang terbuat dari daging asap babi dengan bentuk yang panjang dan tipis. Segera setelah pesanan diterima, roti pun dipanggang dan dilumuri saus tomat pedas buatan Bruno. Kemudian sosis dijejalkan ke dalamnya dengan penjepit, sebelum diberi sauerkraut (kubis asam yang dipotong halus) dan honey mustard. Karena sosis baru dipanggang sesuai pesanan, butuh waktu lebih dari sepuluh menit untuk menunggu hot dog tersebut. Namun saya tak heran bila mereka yang pernah mencicipinya minimal sekali rela menunggu lama tanpa banyak mengeluh – hot dog ini memang luar biasa lezat. Pesanan saya datang dengan tekstur roti di bagian luar yang sedikit renyah setelah dipanggang. Sauerkraut-nya tak begitu terasa asam, justru rasa pedas pada sosis dan sauslah yang mendominasi. Sembari mengudap hot dog, saya pun siap melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju Hötorgshallen.

 

Hötorgshallen

Hötorget – alun-alun di mana Hötorgshallen berdiri – merupakan pasar terbuka sejak 1640-an yang selalu ramai dengan penjual buah, sayuran, dan bunga. Pada akhir pekan, alun-alun tersebut berubah menjadi pasar lokal dengan orang-orang yang menjual berbagai barang bekas dan pernak-pernik. Menghindari para penjual yang berseru menawarkan barang dagangan dengan potongan setengah harga, saya segera memasuki Hötorgshallen.

Dibangun pada 1950 dan telah mengalami dua renovasi besar pada 1990-an dan 2011-2012, Hötorgshallen yang lebih terlihat modern dibanding Östermalms Saluhall dengan bangunan berdinding kaca ini merupakan destinasi terbaik untuk mencari berbagai produk makanan dari mancanegara. Di sini tersedia gravlax (salmon mentah), kräftskivor (crayfish yang direbus dalam air garam, bir, dill, dan rempah-rempah) khas Swedia, falafel khas Timur Tengah, hingga kebab dan burger Turki.

Walaupun köttbullar, bakso khas Swedia, sudah dikenal luas berkat cabang IKEA yang sudah tersebar di dunia, saya toh tetap penasaran mencicipinya di negara aslinya. Berbeda dengan bakso kebanyakan di Indonesia yang disajikan dalam kuah kaldu, bakso khas Swedia ini disajikan dengan saus gravy, saus lingonberry, dan kentang tumbuk. Rasanya gurih dan empuk, sementara saus gravy-nya pun tak terlalu asin dan creamy. Untuk rasa yang sedikit asam-manis, bakso ini bisa dicelupkan ke saus lingonberry.

Masih penasaran dengan bakso Swedia, saya memesan wallenberger. Dinamai berdasarkan keluarga Wallenberg, karena keluarga dan hidangan ini sama-sama “kaya” – yang satu dalam hal keuangan dan yang satunya lagi dalam hal rasa – wallenberger dihidangkan dengan cara yang sama seperti köttbullar, yaitu dengan saus gravy, saus lingonberry, dan kentang tumbuk. Rasanya pun tak jauh berbeda dengan köttbullar, hanya saja bentuknya memang mirip patty burger, yaitu bulat besar namun sedikit pipih.

 

Teks: Melinda Yuliani

Artikel selengkapnya dapat dibaca di majalah Panorama edisi Mei-Juni 2015