
Cinta Membawaku ke Jamaika
Kecintaan kepada Bob Marley, walau baru mengenal musiknya setelah ia meninggal, membawa saya menuju Jamaika. Jauh dari tanah air, tapi “No Woman, No Cry”, dengan gagah berani saya melintasi benua dan samudera ke Laut Karibia, di tenggaranya Amerika Serikat.
Negara berpenduduk 2,8 juta orang ini memiliki cuaca sama persis dengan Indonesia yang tropis dengan tingkat kelembaban tinggi. Sebagian besar turis mendarat di Jamaika via Montego Bay, namun ibukotanya adalah Kingston yang terletak di tenggara Pulau Jamaika, sekaligus kota tempat tinggal Bob Marley. Tak banyak destinasi pariwisata yang menarik di Kingston, tapi saya ke sana hanya karena ingin ke rumahnya.
Hari pertama tiba, saya langsung menuju rumah Bob Marley naik bus umum yang penuh sesak. Saya menitip pesan kepada supir bus untuk menurunkan saya di rumahnya, namun ia terlupa sampai saya tersadar telah melewati pagar tembok berwarna khas Rasta merah-hijau-kuning dan bergambar wajah Bob Marley. “One stop!” saya berteriak ke supir – begitulah cara orang Jamaika meminta turun dari bus. Kelewatan satu halte, membuat saya berjalan kaki menuju rumahnya yang telah dijadikan museum di Jalan Hope nomor 56. Melihat pagarnya saja sudah membuat jantung saya berdebar keras dan aliran darah saya berdesir.
Stir It Up
Your recipe is, darlin’, is so tasty, when you show and stir your pot, so: stir it up, oh!
Saya membeli tiket masuk seharga 20 dolar Amerika per orang, lalu diberi karcis kecil berwarna hijau bertuliskan WAKE UP AND LIVE, yang merupakan salah satu judul Marley. Untuk masuk museum, pengunjung harus mengikuti tur yang dipimpin oleh seorang pemandu. Setiap pengunjung tidak diperbolehkan membawa ponsel, kamera, video, atau alat perekam apapun ke dalam museum.
Sambil menunggu grup tur, saya pun berkeliling di halaman rumahnya. Tembok yang mengelilingi kompleks ini dipenuhi foto Marley dan keluarganya. Rumahnya sendiri bertingkat dua dan bercat kekuningan yang dikelilingi pepohonan rimbun. Marley membeli rumah kayu bergaya arsitektur abad 19 ini pada 1975. Selain tinggal bersama keluarganya, rumah ini pun berfungsi sebagai kantor pusat perusahaan rekamannya, Tuff Gong.
Di kanan rumahnya terdapat kafe bernama Legend Café yang menjual makanan khas Jamaika berupa nasi campur kacang polong dan ayam goreng tepung. Saya tersenyum sendiri, karena ternyata selera makanan warga Jamaika sama dengan orang Indonesia yang senang dengan makanan berbumbu yang berminyak, gurih, berbumbu suka santan. Tambahkan dengan sambal khas mereka yang terbuat dari cabai superpedas yang tumbuh di Karibia bernama scotch bonnet. Kafe ini pun menjual kopi bermerk Marley Coffee dengan tagline yang diambil dari salah satu judul lagunya, “Stir it up!”. Di ruang duduknya terpasang TV layar lebar yang memutar video konser Bob Marley and The Wailers.
One Love
Is there a place for the hopeless sinner who has hurt all mankind just to save his own beliefs?
Saya lalu dipanggil pemandu untuk bergabung dengan grup tur berjumlah sekitar 15 orang. Masuk ke dalam rumahnya, pada bagian kiri terdapat studio musik tempat Bob latihan dan rekaman bersama grup band-nya The Wailers. Katanya sampai saat ini studio tersebut masih sering dipakai oleh anaknya Bob yang juga penyanyi reggae. Pada bagian kanan terdapat ruangan yang berisi aneka penghargaan Gold dan Platinum yang diterimanya. Pemandu pun menyanyikan lagu “One Love” yang mendapatkan penghargaan sebagai Song of the Millenium oleh BBC, diikuti seluruh pengunjung yang otomatis pecah suara 1,2,3,4 di bagian “One love/one heart/Let’s get together and feel all right”. Saya meneteskan air mata saking terharunya.
Keharuan kemudian berubah menjadi kekaguman ketika kemudian peserta tur dihadapkan oleh hologram tiga dimensi Marley yang sedang konser. Ia tampak begitu nyata sampai saya tercekat karena bisa sebegitu “dekat” dengan pujaan dengan bantuan teknologi.
Kami lalu dibawa ke lantai dua yang berisi benda-benda peninggalan Marley, antara lain kemeja denim kesayangannya saat konser, celana pendek yang pernah dikenakan untuk bermain bola, foto-foto keluarga, aneka penghargaan, dan kliping berita mengenai sepak-terjangnya sebagai musisi yang menyuarakan perdamaian. Kami juga diajak mengintip dapurnya yang bersih beserta blender favoritnya, berhubung sebagai penganut Rastafari, Marley adalah seorang vegetarian.
Could You Be Loved
The road of life is rocky and you may stumble too, so while you point your fingers, someone else is judging you
Pemandu pun kemudian memberikan gosip-gosip internal yang seru. Ayah Marley adalah seorang Inggris berkulit putih dan ibunya adalah seorang Jamaika berkulit hitam. Ayahnya adalah seorang angkatan laut berusia 60 tahun ketika menikahi istrinya yang baru berusia 18 tahun. Istri Marley, Rita Anderson, adalah salah satu dari tiga backing vocal-nya, yang ketika dinikahi Bob adalah janda beranak dua. Keduanya memiliki 3 anak, namun total Marley memiliki 12 anak dari pasangan yang berbeda-beda. Wajah sebagian anak laki-lakinya terpampang pada mural di pagar tembok rumahnya dan mereka masing-masing meneruskan legacy sang ayah melalui musik reggae.
Di bagian akhir tur, peserta diajak ke ruangan di lantai dasar samping rumahnya. Inilah tempat Marley dan grupnya, The Wailers, berkumpul. Pada 1970-an, situasi politik Jamaika sedang kacau akibat perebutan kekuasaan antara dua partai politik. Pada 1976 Bob dijadwalkan konser yang disponsori Perdana Menteri Michael Manley sehingga menimbulkan reaksi oleh partai oposisi. Sejumlah orang tak dikenal menyerang rumah Marley dan menembaki seisi rumah. Lubang-lubang bekas peluru yang tertancap pada dinding ruangan yang putih itu masih jelas. Bob, Rita, dan menajernya terluka, namun dua hari kemudian Bob yang masih terluka tetap melaksanakan konser sesuai jadwal dan dihadiri 80 ribu penonton. Ia bahkan berhasil mendatangkan pemimpin kedua partai yang bertikai ke atas panggung untuk bersalaman.
Setelah konser tersebut, Bob, anggota The Wailers, dan keluarganya kabur ke Inggris. Mereka tinggal di sana selama dua tahun dan merekam dua album baru. Setahun kemudian Bob terdeteksi kanker kulit yang menyebar ke otak dan akhirnya meninggal dunia pada 1981 di Amerika Serikat.
Satisfy My Soul
Oh, can’t you see what you’ve done for me, I am happy inside, all, all of the time.
Tur berakhir di sebuah bangunan modern di bagian belakang kompleks yang berisi galeri foto, kafe One Love, toko suvenir, dan bioskop mungil. Kami pun disuguhkan film dokumenter berdurasi 20 menit tentang perjalanan hidupnya yang diceritakan dalam paduan bentuk wawancara dengan orang-orang yang mengenalnya dan cuplikan konser yang pernah digelar di berbagai tempat. Selama 20 menit itu saya tak berhenti ikut bernyanyi mengikuti lagunya sambil bergoyang-goyang sendiri.
Teks dan foto: Trinity
Selengkapnya di majalah Panorama edisi Maret-April 2015