
Ketika Longyi Terlilit di Pinggang
Bermodalkan kata sapaan “Mingalaba” dan melilitkan longyi di pinggang, pesona Myanmar lebih dari sekadar ribuan pagoda kuno yang berserakan di Bagan.
Ada pemandangan unik yang saya perhatikan saat tiba di Bandara Internasional Yangon pagi itu. Baik pria maupun wanita yang mengantre di Imigrasi mengenakan sarung. Tentu saja mereka terlihat anggun dengan kain bermotif bunga-bunga atau polos dalam aneka warna. Saya baru ingat, berbagai panduan perjalanan ke Myanmar menyebutkan tentang longyi dan inilah yang menjadi daya tarik Myanmar – salah satu dari sedikit tempat di Asia yang masyarakatnya masih mengenakan pakaian tradisional.
Terpikat Longyi
Setelah menukar dolar ke mata uang kyat, kami bergegas mencari taksi ke Aung Mingalar Highway Bus Centre untuk membeli tiket bus malam ke Bagan. Setelahnya, sisa waktu yang kami miliki akan digunakan untuk berkeliling Yangon. Di pusat kota, kembali saya melihat longyi di mana-mana. Di hotel, perkantoran, rumah makan, hingga supir taksi pun bersarung-ria. Warga Myanmar memang mencintai longyi mereka. Tak heran, ketika berbicara kancah internasional pun, pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi selalu terlihat mengenakan longyi.
Turun dari taksi, Pagoda Sule berdiri megah di hadapan kami, tepat di bundaran yang berada di tengah kota. Untuk memasuki pagoda yang konon berumur 2.500 tahun ini, pengunjung harus melepas alas kaki dan turis asing diwajibkan membayar donasi sebesar 2.000 kyat atau dua dolar AS per orang. Layaknya memasuki tempat ibadah, pengunjung dianjurkan untuk berpakaian sopan, setidaknya bagian pundak hingga lutut harus tertutup.
Berjalan ke arah tenggara dari pintu Pagoda Sule, langkah kami membawa ke Taman Mahabandoola yang tertata rapi. Yangon pun memiliki banyak gedung cantik peninggalan Eropa yang menjadi saksi bisu atas pendudukan Inggris selama 124 tahun. Meski arsitekturnya terlihat kokoh, tapi sama seperti di Indonesia, bangunan-bangunan kolonial itu tampak kurang terawat.
Ketika sedang memotret gedung High Court, untuk kesekian kalinya kami disapa dalam bahasa Myanmar. “Mingalaba,” ujar seseorang yang ternyata seorang polisi wisata.
Wajah-wajah kami memang tipikal wajah masyarakat setempat sehingga kami sering dikira orang lokal. Mingalaba adalah kata sapaan yang berarti semoga hari Anda penuh berkah. Selanjutnya, kami hanya bisa terpana jika percakapan diteruskan dalam bahasa Myanmar.
Polisi wisata itu mencoba mengajak kami mengobrol dengan bahasa Inggris yang terbata-bata. Tak seperti warga sipil, polisi ini tak mengenakan longyi. Mungkin demi alasan kepraktisan, ia mengenakan celana panjang, berhubung pasti akan repot kalau harus mengejar penjahat mengenakan sarung!
……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Maret-April 2014.
TEKS: VIRA ZOELFIKAR & MURNI RIDHA | FOTO: VIRA ZOELFIKAR