
Magelang Tak Hanya Borobudur
Selalu berada di bawah bayang-bayang Yogyakarta, Magelang kemudian tergerak untuk membuktikan bahwa kotanya pun tak kalah menarik untuk dijelajahi – setelah atau sebelum menjejakkan kaki di Borobudur.
Buku panduan sekelas Lonely Planet pun tak banyak membahas kota tempat Candi Borobudur ini berada. Padahal kota sejuk yang dikelilingi gunung dan bukit ini menyimpan banyak pesona yang layak diperhitungkan. Magelang juga telah membenahi infrastrukturnya. Beberapa tahun lalu, misalnya, pilihan akomodasi yang tersedia masih sebatas losmen dan hotel kelas melati dengan fasilitas seadanya. Namun kini Magelang juga telah memiliki hotel dengan ratusan kamar yang cantik dan nyaman agar pengunjung dapat memiliki opsi menginap tanpa harus ke Yogyakarta.
Sepiring sawut dan kacang rebus menjadi porsi camilan saya sebelum memulai menjelajahi Magelang dari Atria Hotel & Conference Magelang yang berlokasi di tengah kota. Sawut adalah kuliner khas Magelang berupa singkong yang diparut, kemudian dikukus dan setelah matang ditaburi parutan kelapa. Kadang, sawut diberi tambahan gula pasir bagi yang menyukai manis. Kudapan berkalori ini cukup untuk mengisi tenaga sebelum mengayuh sepeda onthel menjelajahi salah satu sisi Magelang. Sepeda onthelnya sendiri saya sewa dari Atria Hotel & Conference yang menawarkan paket keliling Magelang dengan mengayuh sepeda peninggalan zaman kolonial ini seharga Rp 179.000. Paket ini baru dapat terlaksana dengan minimal enam orang peserta.
Menaklukkan Jalanan
Sepeda onthel – yang walaupun berusia tua namun tetap mengilat tanpa karat – memang sangat mengintimidasi karena tingginya kurang sesuai untuk dikayuh oleh tipikal kaki-kaki pendek warga Asia. Untuk mengendarai onthel, saya harus menyesuaikan diri dulu dengan ketinggian sepeda. Walau tinggi bantalannya dapat disetel, namun tetap memerlukan kelincahan untuk duduk di atasnya tanpa terjatuh – dan tertimpa sepeda.
Tak ada sistem gear di pangkal rantai roda seperti pada sepeda gunung modern sehingga kayuhan terasa berat. Mengayuh di jalan beraspal yang datar saja sulit, apalagi bila melintasi jalan-jalan tanah pedesaan yang tidak rata. Dada sempat berdegup kencang di awal perjalanan, namun kemudian saya menyadari bahwa ternyata onthel mudah untuk dikuasai dengan posisi mengayuh dan sepeda ini tak kalah ergonomis dengan sepeda lipat masa kini. Dengan kepercayaan diri yang semakin bertambah, saya menuju Desa Tingal Kulon yang untungnya hanya ditempuh dalam waktu sepuluh menit.
Desa ini tampak sepi dengan jalannya yang agak sempit dan berlapis tanah. Kebanyakan rumah di sini punya halaman luas dengan pagar kayu. Saya mengunjungi sebuah industri batik rumahan bernama Batik Tingal yang menjual berbagai produk batik, seperti baju, kain, scarf, boneka, dan gantungan kunci bermotif stupa, relief, dan candi, berhubung desa ini berdekatan dengan Borobudur. Berbelanja langsung di pengrajin memang selalu menyenangkan karena dapat sekaligus berinteraksi dengan para pengrajin tentang karya-karya yang dihasilkan.
Selain memproduksi batik dengan corak khas Tingal, pengrajin batik di desa ini juga memproduksi batik dengan corak Yogyakarta dan Solo sesuai pesanan. Kerajinan batik ini masih menggunakan metode canting. Pengunjung juga dapat melihat proses pembuatan batik dan bahkan mencoba sendiri sulitnya membuat batik dengan membayar Rp 20.000. Motif batiknya dapat mengikuti yang sudah ada, namun bagi yang kreatif, dapat menciptakan motif sendiri sesuai keinginan.
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Mei-Juni 2014.
Teks Yudasmoro Minasiani