TOP

Mengenali Dili

Baru merayakan usianya ke-12, salah satu negara termuda di dunia yang berlokasi di Segitiga Terumbu Karang ini menjanjikan pengalaman yang mengharu-biru.

Di penghujung tahun 2013, beberapa majalah wisata menyebutkan Timor Leste sebagai salah satu negara yang patut dikunjungi selama 2014 sebelum berkembang sebagai tempat wisata. Setelah mengunjungi Sipadan yang juga merupakan bekas wilayah Indonesia di tahun 2011, mengunjungi Timor Leste yang pernah menjadi provinsi ke-27 Indonesia ini juga merupakan impian. Beberapa majalah wisata yang saya baca di akhir 2013 itu semakin memantapkan niat untuk mengunjungi Timor Leste.

 

Serba Mahal

“Di sana apa-apa mahal dan semua transaksi menggunakan dolar Amerika Serikat,” begitu kata seorang teman jurnalis kantor berita asing yang telah sering menjejakkan kaki di Timor Leste. Image mahal ini memang langsung terasa ketika mencari tiket. Akses ke Dili, ibukota Timor Leste, masih terbatas dan hanya dapat diakses dari tiga tempat, yaitu Denpasar, Singapura, dan Darwin di Australia.

Dari Indonesia, yang melayani rute Denpasar – Dili hanyalah Sriwijaya Air. Karena merupakan satu-satunya pilihan, maka tiket pun mahal. Untuk penerbangan kurang lebih dua jam, tiket normalnya sekitar Rp 1.500.000 satu arah, sehingga total perjalanan dari Jakarta ke Dili harus ditebus seharga nyaris Rp 6.000.000.
Setelah bertukar email dengan Dive Timor Lorosae (www.divetimor.com) untuk memesan akomodasi dan paket menyelam, dengan menggeret kopor penuh alat selam, kami berangkat subuh dari Jakarta menuju Denpasar untuk kemudian melanjutkan penerbangan ke Dili. Bila naik Sriwijaya Air dari Jakarta ke Denpasar, penumpang tetap harus turun dan membawa semua bagasi kabin ke terminal domestik menuju terminal keberangkatan internasional dan melapor ke konter check-in Sriwijaya Air untuk mendapatkan boarding pass penerbangan ke Dili.

Tiba di Bandara Nicolau Lobato yang namanya diambil dari presiden pertama Timor Leste, seakan mendarat di bandara yang ada di Nusa Tenggara Timur – kecil dan seadanya. Turun pesawat, bagi warga non Timor Leste langsung mengantri di loket Visa On Arrival untuk membayar 30 dolar Amerika Serikat (bagi turis selama maksimal 30 hari). Karena semua orang bisa berbahasa Indonesia, kami tak merasa sedang di luar negeri. (Nanti kami akan tahu bahwa generasi yang lahir sebelum akhir 1990-an masih bisa berbahasa Indonesia, sedangkan mereka yang lahir setelahnya hanya bisa bahasa Tetum dan Portugis.)

Setelah melewati imigrasi, staf dari Dive Timor Lorosae (DTL)sudah menunggu. Perjalanan dari bandara ke dive center yang dilengkapi akomodasi dan restoran ini hanya sekitar 20 menit naik mobil. Patung Nicolau Lobato yang berada di jalan masuk bandara ketika itu baru saja akan diresmikan sehingga tampak beberapa anak muda sedang berfoto di sana. Seperti tipikal kota-kota di Nusa Tenggara, Dili memang seperti masih di Indonesia.

DTL sebagai operator menyelam terlama di Dili menyediakan akomodasi bagi beragam bujet, mulai dari guest house seharga 30 dolar Amerika Serikat per orang dengan kamar mandi luar hingga vila dua kamar tidur seharga 165 dolar Amerika Serikat. Semua tamu berhak menikmati kolam renang di belakang hotel untuk bersantai. Namun memang Indonesia lebih value for money karena untuk harga yang sama di Indonesia, sudah didapatkan kualitas kamar yang lebih bagus. Rata-rata hotel di Timor Leste sekelas dengan hotel bintang tiga di Indonesia, namun harga kamarnya di atas 100 dolar Amerika Serikat.

 

Rumah Ibu Kris

Sisa hari itu kami habiskan untuk bersantai di kolam renang sambil meneguk bir dari Australia. Timor Leste belum memproduksi bir sendiri, namun Tiger Beer asal Singapura, Bir Bintang asal Indonesia, dan berbagai merek bir asal Australia memenuhi drink list di berbagai bar dan restorannya. Ketika sedang bersenda gurau, staf dive center mendekati dan menanyakan asal kami. Setelah tahu kami dari Jakarta, ia berkata, “Oh, seperti Ibu Kris! Kalian pasti kenal Ibu Kris!” yang kemudian kami tahu bahwa yang dimaksudnya adalah penyanyi Krisdayanti.

“Itu rumah Ibu Kris!” katanya sambil menunjuk tembok rumah di sebelah kolam renang. “Ayo, saya antar ke sana!” katanya menawarkan. Bagai kerbau dicucuk hidung dan sambil tertawa-tawa, kami menuju rumah di sebelah DTL. Apa lagi kalau bukan untuk berfoto dan disebarkan ke media sosial. “Orang Jakarta yang ke Dili pasti minta diantar ke rumah Ibu Kris untuk berfoto di depannya,” terang staf dive center itu lagi. Sepertinya memang berfoto di rumah Krisdayanti dan Raul Lemos di Dili setara dengan berfoto di depan rumah Aung San Suu Kyi di Yangon.

Dari staf dive center itu juga kami mengetahui bahwa Timor Leste tidak memiliki makanan khas, namun sebagai gantinya, Dili adalah tempat untuk menikmati masakan Portugis. Ia kemudian menyodorkan sebuah peta berisi panduan restoran di Dili. Ia merekomendasikan Restoran Boca Doce yang khusus menyajikan masakan Portugis dengan Menu of the Day yang berganti-ganti setiap harinya.

Karena harus naik taksi dan di berbagai buku panduan tidak menyarankan naik sembarang taksi di malam hari, staf dive center itu menelponkan adiknya yang ternyata supir taksi dan sering menjadi langganan para tamu DTL. Kami meminta supir menunggu kami makan. Taksi di Dili tidak menggunakan argometer, sehingga harus tawar-menawar harga. Untuk jarak dekat (sekitar lima menit berkendara), biasanya mereka mematok lima dolar Amerika Serikat. Bila meminta supir menunggu, sepakati di awal waktu menunggu supaya tidak memberi celah bagi mereka untuk meminta uang lebih dari harga yang telah disepakati. Untuk makan malam ke tempat yang harus berkendara sekitar sepuluh menit dan menunggu selama satu jam, kami diberi harga 20 dolar Amerika Serikat.

 

Teks & foto Fransiska Anggraini

Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Juli-Agustus 2014.