TOP

Mengenang Sejarah, Menikmati Kekinian

Yokohama menyajikan contoh yang baik bagaimana bangunan-bangunan sejarah tak hanya milik masa lalu, namun juga dapat menjadi bagian dari masa kini dan masa depan bila dimanfaatkan secara bertanggung jawab.

Maho Watanabe yang lahir dan besar di Yokohama menyambut saya dengan hangat. “Welcome to Yokohama… again!” katanya dengan bahasa Inggrisnya yang fasih berlogat Amerika karena pernah ia bersekolah dan tinggal di San Francisco. Maho bercerita bahwa yang paling dirindukannya dari Yokohama selama tinggal di luar negeri adalah minum bir sendirian di pelabuhan sambil memandangi kapal-kapal yang berlalu-lalang. “Entah kenapa selalu ada perasaan melankolis kalau melihat kapal yang akan berlabuh dan kapal yang mengangkat jangkar dan siap untuk berlayar. Seperti esensi kehidupan, selalu ada yang datang, tapi pasti ada juga yang pergi,” jelasnya.

Yang pasti, saya memang iri dengan warga Yokohama yang dapat melihat laut secara gratis di area pelabuhannya, Osanbashi Pier, yang kini telah dibuat modern dan nyaman karena juga berfungsi sebagai ruang publik. Saya pun bisa mengerti kesenangan Maho untuk duduk-duduk di dermaga kapan pun tanpa harus membayar.

 

Rumah-Rumah Megah

Dengan naik mobilnya, Maho membawa saya saya ke kawasan perumahan di  Motomachi yang terletak di kaki bukit Yamate menjelma menjadi perumahan elit setelah Pelabuhan Yokohama dibuka karena di sinilah warga asing dari berbagai negara Barat tinggal. Kota kedua terbesar di Jepang ini di zaman Edo merupakan desa nelayan dan baru berkembang menjadi kota perdagangan modern ketika Shogun Tokugawa membukanya sebagai pelabuhan untuk berdagang dengan Amerika Serikat pada 1859.

Beberapa rumah bersejarah di Yamate kini dibuka untuk museum  gratis, seperti Berrick Hall dan Diplomat’s House yang dikelilingi taman yang cantik. Diplomat’s House dibangun oleh arsitek yang sama yang membangun Gereja St. John pada 1907 di Kyoto. Gaya Victoria yang diterapkan pada rumah ini memang sedang populer di Amerika Serikat pada zaman itu. Desain bangunannya memang bergaya Victoria, namun interiornya diberi sentuhan art nouveau berupa jendela kaca patri dan perapian yang penuh bentuk lekuk.

“Ada lagi rumah yang lebih megah tak jauh sini! Saking megahnya, warga Yokohama dan sekitarnya kerap menyewanya untuk pesta pernikahan,” ujar Maho. Benar saja, tak sampai lima menit duduk di mobil, kami sampai di sebuah bangunan berdinding batu khas Mediterania yang dikelilingi taman luas dengan pohon palem di sana-sini. Menurut Maho, dari segi ukuran, rumah ini merupakan rumah terluas yang ada di Yamate. Merupakan bangunan bersejarah yang dilindungi pemerintah kota Yokohama, rumah ini dibangun pada 1930 oleh arsitek J.H. Morgan sebagai tempat tinggal seorang pedagang asli Inggris bernama B. R. Berrick, di mana setelah ia meninggalkan Yokohama ketika pecah Perang Dunia II, rumahnya jatuh ke tangan pasukan Sekutu dan sempat digunakan untuk sekolah berasrama internasional St. Joseph pada tahun 1956 hingga tahun 2000. Kini Berrick Hall terbuka untuk umum dan siapa pun dapat melihat-lihat rumah megah ini tanpa dipungut bayaran.

Sebelum kembali ke Tokyo sore itu, Maho mengajak saya ke sebuah bangunan tua lainnya yang kini menjadi tempat hangout favorit warga Yokohama, yaitu Red Brick Warehouse. Disebut Renga Soko oleh warga setempat,  bangunan dari bata merah di tepi pelabuhan ini merupakan bekas gudang yang telah direnovasi dan sejak 2002 berfungsi sebagai pertokoan, restoran, dan concert hall.

Untung jarak Yokohama dan Tokyo dekat – hanya sekitar 45 menit naik kereta – sehingga saya urung kembali ke Tokyo dengan kereta sore dan menundanya ke kereta lebih malam karena tergoda untuk menyusuri satu demi satu pop-up store di Red Brick Warehouse yang menjual barang-barang unik mulai dari pakaian, aksesoris, sepatu, peralatan rumah tangga, ornamen dekorasi, kue-kue khas Yokohama. Perjalanan ke Tokyo, bagi yang memiliki waktu terbatas, juga dapat menggabungkan dengan Yokohama. Pengaruh barat di kota ini pun masih terasa di seantero kota. Bagi yang menyukai suasana  yang lebih sepi dan lebih santai dibandingkan Tokyo, dapat memilih untuk menginap di Yokohama.

 

Selengkapnya bisa dibaca di Majalah Panorama edisi Januari-Februari 2015.