TOP

Menyusuri Keabadian di The Magnificent Seven

Tetumbuhan hijau dan bunga liar yang bermekaran di musim semi, sementara suara satwa terdengar bersahutan, membuat kompleks pemakaman The Magnificent Seven di luar kota London, tempat ratusan ribu orang dikubur sejak 1830-an, tidaklah menakutkan.  

 

The Magnificent Seven terdiri dari tujuh kompleks pemakaman, yaitu Kensal Green, West Norwood, Highgate, Abney Park, Nunhead, Brompton, dan Tower Hamlets sebagai yang paling akhir ditambahkan pada 1841, sebagai kelanjutan dari usaha untuk memindahkan pemakaman dari kebun belakang gereja-gereja yang ada di London.

Ketika masa pemerintahan Ratu Victoria (1837 – 1901), tradisi ini sulit dilanjutkan, terutama di London yang semakin padat karena jumlah penduduk dari hanya satu juta jiwa meledak menjadi 2,1 juta jiwa pada awal 1800-an, sehingga kuburan-kuburan tidak lagi dapat menampung jenazah. Beberapa jenazah kemudian banyak yang ditumpuk dalam satu lubang makam, sehingga kemudian timbul kekhawatiran hal ini dapat menyebarkan bakteri berbahaya ke saluran pembuangan air. Oleh karena itu, pamong praja London kemudian memunculkan ide untuk meniru pemakaman terbesar di Paris Pere Lachaise, di mana kuburan sekaligus difungsikan sebagai taman dan pusat kegiatan warga. Maka mulailah sebuah proyek besar pembangunan pemakaman umum di tujuh penjuru London pada 1832. Nama The Magnificent Seven sendiri baru digunakan untuk menjuluki kompleks ketujuh pemakaman ini pada 1981, yang diambil dari judul film tahun 1960 bertema cowboy yang dibintangi Steve McQueen.

 

Makam Sebagai Ruang Publik

Ketujuh pemakaman di sini dihiasi elemen-elemen Kristen Anglo-Saxon dengan lambang-lambang khas, seperti salib, bejana, dan figur malaikat. Dari antara The Magnificent Seven, pemakaman favorit saya adalah  Highgate Cemetery, di London Utara, karena tak saja di sini dapat mempelajari sejarah dengan cara menyenangkan, namun juga banyak makam tokoh terkenal di sini, seperti filsuf Karl Marx, novelis George Eliot (nama pena penulis Mary Ann Evans namun yang tertulis di nisan adalah Mary Ann Cross), penyair Christina Rosetti, novelis Douglas Adams, dan pemahat Anna Mahler. Karena pentingnya pemakaman ini, pemerintah Inggris telah menetapkan Highgate Cemetery sebagai bangunan bersejarah Grade I.

The Magnificent Seven di London didesain untuk dapat memenuhi empat fungsi, yaitu sebagai peninggalan bersejarah, lahan hijau, sarana pendidikan, dan tempat bersantai. Walau saya termasuk penakut, namun memasuki Pemakaman Highgate jauh dari kesan masuk ke sebuah setting film horor. Pengunjung keluar-masuk tempat ini dengan santai, sebagian mendorong kereta bayi dan sebagian lagi membawa anjing mereka berjalan-jalan, selain sesekali tampak warga yang  bersepeda. Karena pemandangan inilah makanya Highgate cukup sukses memadukan empat unsur makam di London seperti yang dicita-citakan pamong prajanya pada tahun 1830-an.

Merupakan kompleks kuburan yang populer di kalangan turis dengan tiket masuk empat poundsterling, ketika berkunjung ke Highgate, saya sempat mengobrol dengan  juru kunci makam yang ramah dan berpenampilan menarik dengan berbalut  seragam Highgate Cemetery Trust, yayasan pengelola pemakaman yang mempekerjakan pegawai tetap dan ratusan relawan. Darinya saya ketahui bahwa memakamkan seseorang di Highgate dikenakan biaya yang sangat mahal karena makam ini  membutuhkan biaya perawatan hingga 1.000 poundsterling per hari. Ongkos pemakaman paling murah di Inggris mencapai sekitar 2.000 poundterling dan karena mahal, penguburan telah mulai banyak ditinggalkan warga Inggris. Menurut catatan Arsip Nasional Inggris, lebih dari 70 persen warga memilih kremasi yang lebih murah dan praktis dibandingkan pemakaman konvensional.

Meski mayoritas penganut Kristen Anglikan, namun warga Inggris tidak pergi ke kuburan untuk mendoakan orang-orang yang dikubur di sana. Bahkan kapel-kapel yang ada setiap taman makam juga hanya berfungsi sebagai aksesoris, selain sebagian besar atapnya sudah runtuh karena dimakan usia dan cuaca. Lagi-lagi hal ini menebalkan kesan bahwa taman pekuburan di Inggris memang lebih banyak fungsinya bagi mereka yang masih hidup ketimbang yang sudah meninggal.

 

Tur Keliling Highgate

Highgate Cemetery Trust juga menyediakan jasa tur keliling kuburan yang laris dan selalu dibanjiri permintaan. Tur hanya tersedia di akhir pekan – biasanya Sabtu – dengan biaya sebesar 12 poundsterling per peserta. Yang membuat tur ini istimewa adalah karena peserta diajak menyusuri kompleks pekuburan Highgate di sisi barat yang memang tertutup untuk umum demi alasan untuk melindungi berbagai peninggalan bersejarah yang ada.

Walau saya curiga hal ini adalah trik pengelola untuk mendapat pemasukan lebih, namun keputusan saya untuk mengikuti tur tersebut tidaklah saya sesali karena kawasan barat Highgate ini memang merupakan  taman pemakaman paling indah yang pernah saya lihat. Berbagai artefak pemakaman dari era Ratu Victoria yang berpadu dengan gaya bangunan Gothic pun bertebaran di sini. Mausoleum, katakombe (kuburan bawah tanah dengan larik-larik relung untuk makam), barisan tiang-tiang bergaya Romawi, hingga Circle of Lebanon atau kompleks makam yang dibuat mengelilingi pohon cedar menjadi daya tarik utama bagian ini. Di makam sebelah barat ini antara lain terdapat nisan keluarga (istri, adik, dan orangtua) penulis terkenal asal Inggris, Charles Dickens.  Berlokasi di sebelah Waterlow Park, Highgate Cemetery ditumbuhi pepohonan, semak, dan bunga-bunga liar, selain menjadi suaka bagi beberapa jenis burung.

 

Tak Terurus

Selain Highgate, saya juga sempat berkunjung ke Pemakaman Nunhead dan Abney Park yang juga merupakan bagian dari The Magnificent Seven. Namun tak seperti Highgate, kedua makam yang saya kunjungi terakhir itu lebih mirip hutan ketimbang taman. Nisan-nisan di sini hanya tampak ujungnya karena sebagian besar makam tertutup akar dan daun yang yang merambat bebas dalam lebih dari  170 tahun terakhir. Telah banyak pemerhati arsitektur yang menyuarakan kecaman akan perawatan makam yang asal-asalan ini.

Nunhead yang terletak di tenggara London didirikan di atas bukit setinggi 200 meter di atas permukaan laut dengan pemandangan Sungai Thames dan pusat kota London di bawah kaki. Karena lokasinya yang eksklusif dengan pemandangan indah, di masa lalu hanya keluarga  menengah atas lah yang dapat menguburkan kerabat di sini. Silsilah dan asal-usul keluarga terpandang yang dikubur di sini pun dapat diketahui dari tulisan pada nisan, walau kini sebagian besar sudah tak terbaca lagi.

Di Nunhead, jejak vegetasi lebih kuat. Seperti Abney Park, status Pemakaman Nunhead  ini sebenarnya adalah arboretum (taman pemeliharaan tanaman langka), tempat berbiak satwa endemik Inggris, sekaligus ruang terbuka hijau bagi warga. Saya berkunjung ke Nunhead Mei lalu, ketika hujan dan badai es (hailstorm) baru saja mengguyur London. Walau dingin, namun suasana siang itu tak menyulut kengerian karena meski nisan-nisan lembab akibat tetesan air, begitu hujan reda, yang ramai terdengar adalah suara satwa yang bersahutan. Cuaca London yang bisa dramatis berubah dalam hitungan menit. Hari itu ketika rintik hujan digantikan dengan siraman sinar matahari, pekuburan yang tak terurus itu seketika berubah menjadi hangat. Suara satwa yang terdengar bagi orkestra pun  memeriahkan suasana.

Abney Park, komplek pemakaman dekat Stoke Newington di timur laut London, nyaris rata tertutup perdu liar yang memenuhi sepanjang tepi jalannya. Pohon-pohon tumbuh menjulang, sementara sebagian akarnya merusak bangunan nisan, sementara hujan dan musim dingin yang keras selama lebih dari satu setengah abad meluruhkan tulisan yang tertera pada nisan sehingga kini sulit terbaca. Bagi sebagian orang, susana alami ini justru lebih menarik ketimbang deretan nisan dan mausoleum yang rapi dikelilingi padang rumput hijau yang tertata.

Begitu pentingnya  pengelolaan kuburan sebagai taman kota, Pemakaman Nunhead  berada di bawah pengelolaan National Trust, lembaga nirlaba milik pemerintah Inggris yang menjaga kelestarian bangunan  dan taman di Britania Raya.  Saya sendiri menikmati kunjungan ke ketiga makam The Magnificent Seven tersebut. Tak ada rasa takut, karena makam-makam tua ini sangat menyenangkan untuk duduk-duduk melewatkan hari sambil belajar sejarah di sebuah metropolitan yang sesibuk London.

 

Teks & foto Dewi Safitri