TOP

Salju di Antara Julangan Granit

Seperti Gunung Fuji, Yellow Mountains atau Huangshan dalam bahasa Mandarin adalah sumber inspirasi berbagai lukisan, kisah literatur, maupun karya fotografi. Berada di Huangshan dan dikelilingi pemandangan menakjubkan, seketika rasa bangga digantikan oleh perasaan kecil dan tak berarti.

Pergi ke Tiongkok tanpa bisa sepatah kata pun bahasa Mandarin dan lupa membawa phrase book adalah kebodohan yang selalu lucu kalau diingat kembali. Apalagi waktu itu saya berambisi untuk mendaki Huangshan di Provinsi Anhui. Karena tak banyak informasi dalam bahasa Inggris tentang pendakian ke Huangshan, saya sengaja menghabiskan beberapa malam di Shanghai untuk menggali informasi dari warga setempat. Dari sekian banyak warga Shanghai yang saya tanya, semuanya mengatakan bahwa untuk mendaki Huangshan harus mengikuti tur.

Bukan masalah harus membayar paket tur, namun ketika mendaki gunung tentu kecepatan setiap orang berbeda, sehingga tidak seharusnya berjalan bersama-sama dalam satu rombongan. Lagipula, saya ingin berjalan, bukan sekadar pergi ke menara pandang, foto-foto kemudian pulang. Saya juga ingin berhenti di mana pun dan kapan pun untuk mengambil gambar tanpa harus diburu-buru oleh ketua rombongan.
Makanya saya ingin pergi ke Huangshan secara independen. Sebelum berangkat, saya menemukan sebuah blog pejalan asal Inggris yang menceritakan pengalaman trekking-nya di Huangshan secara independen. Ia memulai perjalanannya dari Huangshan City, yang kalau dilihat di peta, jaraknya ke Gunung Huangshan masih sekitar 45 menit berkendara. Saya ingin menginap di tempat yang benar-benar di lereng Huangshan, seperti Paltuding sebelum mendaki Kawah Ijen atau Sembalun sebelum mendaki Rinjani. Sebagai tempat wisata andalan, pastilah Huangshan memiliki desa terdekat yang menyediakan fasilitas bagi pengunjung yang ingin mendakinya.

 

Lika-liku ke Tangkou

Dari seorang penjual suvenir di Yu Yuen Garden akhirnya saya menemukan titik terang. Ia mengatakan bahwa saya harus pergi ke Tangkou, kota kecil di kaki Gunung Huangshan, yang menyediakan shuttle bus setiap 20 menit menuju pintu Yellow Mountains. Jadilah hari itu saya ke Shanghai Tourist Bus Center, sebuah tempat pembelian tiket bus ke luar kota yang memiliki staf berbahasa Inggris, untuk keberangkatan ke Tangkou keesokan harinya. Harga tiket RMB 200 dan bus berangkat 06:50 dari tempat yang sama. Terminal busnya megah, bersih, dan teratur.

Karena merupakan bus pariwisata, maka penumpangnya pun dibawa untuk berwisata, lengkap dengan pemandu yang menerangkan berbagai tempat menarik yang dilewati. Kalau isi omongan si pemandu saya memang hanya menebak-nebak karena ia berbicara dalam bahasa Mandarin.

Untungnya saya satu bus dengan warga Tiongkok yang sudah puluhan tahun tinggal di California, sehingga saya minta diterjemahkan setiap kali pemandu menginstruksikan sesuatu. Perjalanan selama enam jam tak terasa karena berhenti beberapa kali untuk membeli sarapan dan menggunakan toilet. Tiba di Huangshan City tepat jam makan siang, bus merapat di sebuah restoran. Penumpang dapat membayar RMB 30 per orang untuk makan prasmanan dengan menu khas setempat, seperti sup ayam, babi dengan rebung, ikan kukus, mapo tofu, dan masih banyak lagi. Dengan harga yang sangat terjangkau dan menu lezat, tidak ada penumpang yang menolak untuk makan siang.

Setelah makan, bus merapat di terminal Tangkou. Pemandu menanyakan nama hotel saya, yang ketika saya jawab dengan Cheng Jin, dia mengernyitkan dahi. Bahasa Mandarin memang merupakan salah satu bahasa terumit di dunia karena menggunakan nada. Mungkin nada pengucapan saya salah sehingga ia tidak mengerti kata yang saya ucapkan. Di lembar reservasi hotel, tertulis bahwa Hotel Cheng Jin terletak tak jauh dari pintu barat terminal bus. Melihat saya yang kebingungan, si warga China-California itu menawarkan diri untuk menelponkan hotel dari nomor yang tertera di kertas reservasi. “Akan ada orang dari hotel yang menjemput kamu di sini. Tunggu saja, ya!” katanya setelah menutup pembicaraan di telpon. Ia kemudian melambaikan tangan dan sebelum sempat mengucapkan terima kasih, ia sudah masuk ke dalam taksi. Malaikat bisa ada di mana-mana dan menjelma dalam bentuk apa pun!

Tak lama, staf hotel datang menghampiri. Pantas saja ia bersedia menjemput karena letak hotel tepat di sebelah terminal bus. Tak seperti staf hotel saya di Shanghai, staf hotel ini berbahasa Inggris dengan baik. (Kalau dipikir-pikir saya memang egois, pergi ke negara orang tapi mengharapkan mereka mengerti bahasa lain!)

Walau merupakan hotel sederhana, namun kamar yang nyaman dan keramahan stafnya membuat saya kembali percaya diri menaklukkan Huangshan. Sebelum memberikan kunci kamar, ia menyodorkan secarik peta sambil memberikan informasi rute. Ada dua rute mendaki Huangshan, yaitu rute timur (Yungu – atau terjemahan bahasa Inggrisnya, Clouds Valley – ke Yuping atau Jade Screen) yang touristy, serta rute barat (Yuping ke Yungu) yang lebih panjang, lebih indah, namun tidak terlalu ramai. “Berangkat sepagi mungkin agar lebih santai karena kereta gantung terakhir beroperasi pukul 16:30 dan shuttle bus terakhir ke Tongkou pukul 17:00 – jangan telat! Beli tongkat karena di sana licin dan pastikan sepatu memiliki sol yang mencengkeram,” pesannya.

Matahari bersinar cerah hari itu walau salju tebal menutupi bangunan dan pepohonan di sekitar Tangkou ketika saya berjalan kaki menuju terminal shuttle bus. “Sudah bawa bekal, kan? Bawa roti, cokelat, dan buah-buahan karena membeli di gunung mahal!” pesan staf hotel ketika melihat saya meninggalkan hotel.
Sambil sarapan di KFC yang terletak di tak jauh dari hotel, saya sudah membekali diri dengan dua buah burger ayam untuk dimakan selama perjalanan. Menurut staf hotel, harga makanan di gunung bisa lima kali lipat dibandingkan di Tangkou. Air minum, misalnya, yang biasanya seharga RMB 1,5, di gunung bisa RMB 8.

 

Teks & foto Fransiska Anggraini

Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Juli-Agustus 2014.