TOP

Selamat Malam, Sahara

Kering, panas, tidak ada pepohonan dan membosankan. Begitulah gambaran di benak saya ketika membayangkan Sahara. Ternyata gurun terluas di dunia itu mematahkan semua asumsi.

Excuse me, do you need a hotel?” Seorang pemuda mendekati kami ketika saya dan Adam – suami saya – baru saja turun dari bus di Desa M’Hamid, Maroko dan berdesakan mengantre untuk mengambil bagasi. Biasanya kami langsung mengabaikan tawaran-tawaran tersebut, namun karena waktu menunjukkan pukul 23:00 waktu setempat dan kami memang belum memiliki akomodasi, dengan enggan kami merespon tawaran tersebut.

Diawali Was-was
Kami mengabaikan opsi untuk ikut tur ke Gurun Sahara dari Marrakesh, salah satu kota teramai di Maroko. Sebetulnya saat itu kami belum menginjakkan kaki di Marrakesh karena kami baru datang dari Chefchaoen, desa kecil di bagian utara Maroko. Setelah mengunjungi Fes dan Tinghir, kami mengarah ke Ouarzazate dan mencoba melakukan perjalanan independen sampai ke Gurun Sahara. Walau perjalanannya panjang, transportasi umum cukup mendukung sampai ke M’Hamid, desa yang terletak di bibir Gurun Sahara.

Ihsam, pemuda yang menawarkan akomodasi membawa kami dengan kendaraan serupa bemo melewati Desa M’Hamid yang saat itu sudah sangat sepi bagai tak berpenghuni. Saya tidak melihat tanda-tanda adanya hotel. Bemo pun terus melaju meninggalkan jalanan aspal dan berbelok naik ke bukit berpasir. Kami mulai curiga dan menanyakan letak hotel, namun kemudian bemo berhenti dan Ihsam menunjuk ke sebuah papan sembari berkata, “We’ve arrived.

Seorang pemuda lain kemudian memperkenalkan diri sebagai Mbarek menyambut kami dengan hangat. Dia menawarkan untuk membuatkan makan malam dan sambil menunggu makanan, saya membaca majalah yang tergeletak di meja. Di majalah tersebut terdapat sebuah artikel dari sepasang pejalan asal Eropa yang melakukan perjalanan ke Gurun Sahara. Saya mencermati foto di artikel tersebut. Ada sosok yang wajahnya mirip Mbarek dan di artikel tesebut tertulis bahwa mereka menyewa seorang pemandu lokal bernama Mubarak dan seorang penjaga unta bernama Muhammad. Setelah membaca, saya yakin bahwa yang diceritakan di situ adalah Mbarek. Banyak panduan menuliskan kalau sebaiknya tidak berjalan kaki sendiri untuk mengeksplor Gurun Sahara, melainkan harus ditemani pemandu yang tahu medan.

Setelah menyantap Berber Omelette (omelet dengan tomat yang dimasak menggunakan tagine) buatan Mbarek, kami pun mulai mencari tahu tentang paket eksplorasi Gurun Sahara yang mereka tawarkan. Awalnya kami tertarik dengan paket yang menggabungkan perjalanan dengan jeep menuju Chigaga Sand Dunes dan berkemah di gurun. Namun karena bujet dan waktu yang terbatas, kami pun mengambil paket naik unta dengan berkemah semalam di gurun.

Selesai negosiasi, kami diantar ke kamar yang berada di dalam bangunan sederhana dengan tembok dari batu yang bercampur lumpur khas gurun. Dua buah kasur lengkap dengan bantal, seprai dan selimut ditata rapi di atas karpet. Meja kecil di sudut ruangan dihiasi vas berisi bunga plastik sederhana. Kamar mandi dan toilet berada terpisah di sebelah kamar. Untuk harga 50 dirham (sekitar Rp 75.000), kami pun puas dengan akomodasi malam itu.

……………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………………
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Maret-April 2014.

TEKS & FOTO: SUSAN NATALIA