TOP

Setiap Hari Fashion Week

Mengunjungi Paris Fashion Week atau New York Fashion Week yang merupakan pencetus Fashion Week di tahun 1943 mungkin sudah biasa. Bila ingin mengunjungi Fashion Week, cobalah yang di Milan, begitu kata seorang fashion guru. Dan benar saja, tak perlu menunggu musim Fashion Week, setiap hari di Milan bagai peragaan busana karena memang berpakaian apik telah menjadi gaya hidup warganya.

 

Para prianya berbalutkan setelan jas yang pas di tubuh dari material yang sederhana sehingga tampak mahal dan elegan. Seperti kota-kota yang fashionable lainnya, masyarakat Milan pun menyukai warna-warna dasar, seperti hitam, biru, cokelat, dan putih, selain mereka ahli memberi sentuhan aksesori pada pakaian mereka. Baik pria maupun wanitanya sama-sama menyukai scarf, topi fedora, dan newsboy cap, sehingga secara instan membuat penampilan menjadi istimewa.

 

Mengamati Orang di Navigli

Kesimpulan itu saya dapatkan ketika seharian memandangi orang yang lalu-lalang di Navigli, kawasan yang terdiri dari lima kanal yang saling terhubung dan menghubungkan pusat kota dengan daerah pinggiran Milan rancangan Leonardo da Vinci. Hal ini membuktikan bahwa kiprah da Vinci memang mencakup bidang yang beragam. Di musim panas, terdapat operator perahu yang menawarkan jasa untuk menyusuri kanal, namun menurut masyarakat setempat, cara terbaik mengeksplor Navigli adalah dengan menyewa sepeda kemudian menggelar keranjang piknik di mana pun yang diinginkan.

Tak perlu takut kesasar karena jalurnya dapat tinggal mengikuti rute di sepanjang  Naviglio Grande, melewati  Gereja San Cristoforo menuju Gaggiano yang pemandangannya bak kartu pos. Bagi yang ingin serius bersepeda, tersedia jalur sepeda sejauh 40 kilometer di sepanjang Naviglio Martesana menuju utara melewati sejumlah rumah megah di kawasan pedesaan yang asri.

2

 

Pasar Loak

Ketika itu hari Minggu. Area Navigli setiap hari Minggu terakhir setiap bulannya, kecuali Juli, dari pukul 08:30 hingga 18:30 berubah menjadi pasar loak sepanjang dua kilometer dari Viale Gorizia hingga jembatan di Via Valenza. Memuat sekitar 400 lapak, pasar barang antik ini menjual berbagai benda yang dapat dikoleksi, mulai dari mainan, buku, furnitur, porselen, jam dinding, perhiasan, pakaian vintage, tas, dan masih banyak lagi. Sebelum duduk-duduk di Mag Café, saya telah sejak pagi menyusuri pasar loak terbesar di Milain ini karena diberitahu orang hotel. Pasar ini tak hanya menjadi area jual-beli, namun menjadi wadah bagi masyarakat setempat untuk bertemu dan mengobrol. Ketika pasar loak digelar, galeri, restoran, dan kafe di sekitarnya tetap buka, sehingga menambah pesona kawasan Navigli ini.

 

Tidak Gengsi Baju Bekas

“Jangan gengsi beli baju bekas. Kami, warga Italia, memang senang berbelanja. Setiap musim pasti ada yang baru, sehingga supaya lemari tetap muat demi tampil dengan gaya berpakaian terkini, kami sering melelang baju-baju yang sudah ketinggalan zaman, bukan karena baju tersebut habis dikenakan untuk membunuh orang atau membuan sial. Dan di sini, gaya berubah setiap enam bulan,” jelas orang hotel yang memberitahukan tentang pasar loak di Navigli, yang adalah surga bagi para penyuka busana vintage, mulai dari coat, topi, hingga briefcase kulit.

3

Malam itu saya berjalan kaki meninggalkan Navigli untuk kembali ke hotel. Berada di Milan memang sempat membuat saya merasa buruk rupa karena kadang alpa memperhatikan penampilan. Ke mana pun di Milan, warganya berpakaian dengan selera yang tak tercela dari ujung rambut ke ujung kaki untuk berbagai acara. “Orang Italia menilai orang dari penampilan mereka, selera berpakaian terutama. Kami menyebutnya bella presenza atau bella figura. Ini berkat tradisi ke pergi gereja setiap Minggu dengan pakaian rapi. Setiap orang memiliki baju terbaik mereka yang kenakan terutama untuk ke gereja,” begitu jelas petugas resepsionis yang keesokan harinya saya temui dan laporkan hasil perjalanan ke pasar loak di Navigli.

Dari penjelasannya itu, masuk akal mengapa selera berpakaian warga Italia terdepan, bahkan lebih rapi dan lebih elegan dibandingkan dengan warga Perancis yang lebih kasual, walau tak kalah sedap dipandang. Hari itu saya kembali berniat menyusuri jalan-jalan di Milan dan duduk-duduk di sebuah kafe untuk memandangi warga yang lalu-lalang. Namun bedanya, kali ini saya akan memotreti diam-diam model pakaian yang disuka untuk dicontek gaya atau modelnya.

 

Teks: R. Kurniawan

Artikel lengkap dapat dibaca di majalah Panorama edisi April-Mei 2016