TOP

Tak Ada Esok di Fiji

Apa yang ada di Fiji, mungkin akan membuat patah hati para penemu payung dan jas hujan. Bahkan penemu penunjuk waktu pun tak ketinggalan akan dibuat kecewa.

Teks &  foto Syam Asinar Radjam


 

Sore yang gerimis beralih menjadi hujan deras, namun orang-orang di kota kecil itu tetap tenang berdiri di tepi jalan. Hujan boleh turun, namun warga setempat terus melakukan aktivitasnya. Anak-anak tetap berlalu-lalang dengan santai di trotoar, sementara orang-orang dewasa melangkah pelan dengan sibuk berbicara di ponsel dan membiarkan rinai hujan berakhir di tubuhnya. Semua tampak santai. Tak ada satu pun yang panik bergegas mencari tempat berteduh.

Saya sendiri sudah dari tadi berteduh di teras BSP Building, satu-satunya bangunan berlantai empat di Naqara (baca: nang-ga-ra), pemukiman terbesar di Pulau Taveuni. Ketika itu feri Lomaiviti Princess yang saya tumpangi dari Suva baru saja berlabuh di Pulau Taveuni setelah hampir 20 jam berlayar. Persinggahan saya ke pulau terbesar ketiga di Fiji ini karena tergiur dengan julukan sohornya, yaitu The Garden Island of Fiji dan The Breadbasket of Fiji. Kelak saya tahu, julukan ini tak berlebihan. Tanah vulkanik yang masih perawan membuat tanaman pangan, seperti talas serta umbi-umbian, tumbuh subur dan bahkan menyemak di pulau ini. Taveuni sendiri adalah pemasok talas utama di Fiji, selain memenuhi 80 persen pasokan talas untuk diekspor ke Australia dan Selandia Baru.

Menuju Taveuni, saya seperjalanan dengan Viliame Naqelevuki, pria berumur sekitar 40 tahun yang akrab dipanggil Vily. Berbisnis talas, ia biasa membeli talas secara langsung dari petani di Taveuni, kemudian membawanya ke Suva untuk diekspor. Beberapa bulan lalu, ia membuka kebun sendiri di Taveuni dan meminta saya untuk memberikan saran seputar pengetahuan bertani organik. Tentu saja saya tak menolak, karena selain senang berbagi pengetahuan, saya pun dapat menghemat biaya perjalanan. Bisa menginap di rumah-rumah petani binaan Vily merupakan peluang yang baik untuk mengetahui budaya dan keseharian penduduk Taveuni.

Fiji Time

Taveuni adalah sebuah pulau vulkanik yang mungil, yaitu hanya seluas 434 kilometer persegi – kurang lebih sama luas dengan kota kelahiran saya, Prabumulih, dan sedikit lebih besar dari separuh wilayah DKI Jakarta. Dengan populasi sekitar 15 ribu jiwa, mayoritas penduduk adalah pribumi Fiji dan sisanya warga Fiji keturunan India (Indo-Fijian). Desa terbesar adalah Waiyevo, tempat kantor-kantor pemerintahan, rumah sakit, dan markas polisi berada.

Di sini, kehidupan berlangsung bagai dalam rekam gerak lambat. Mungkin karena tanah yang subur, bahan makanan tumbuh melimpah, maka tak ada yang merasa perlu untuk bekerja keras atau tergesa-gesa menuju suatu tempat. Yang saya lihat pada hari pertama ketika orang-orang tetap santai di bawah hujan deras, hanyalah sebuah contoh kecil.

Di Fiji ada istilah Fiji Time, yang menyiratkan kehidupan santai dan tak terburu-buru. Jika berada di restoran, misalnya, dan minuman pesanan baru datang setelah kita lelah menunggu, itulah Fiji Time. Memprotes tak ada gunanya karena pelayan tak merasa ada yang salah. Sebagai gantinya, mereka akan memberi bonus berupa senyuman karena telah bersabar. Contoh lain, jika seseorang berjanji datang di pagi hari, jangan heran bila ia baru muncul menjelang sore. Bagi orang Fiji, mereka memiliki semboyan untuk tidak terlalu khawatir dengan waktu, karena pada akhirnya semua akan selesai dan jika tidak pun, hal itu bukan masalah besar, begitulah kira-kira pemikiran mereka.

Tidak ada yang benar-benar tepat waktu di Fiji, kecuali jadwal penerbangan, bus, dan kapal. Karena itu, saya tak terlalu gusar ketika rencana yang saya susun bersama Vily untuk berbagi pengetahuan bertani organik ke para petani di ladang milik Vily di beberapa desa selalu meleset. Petani Fiji luar biasa santai. Baru pukul 09:00 waktu setempat, ketika matahari mulai naik, mereka sudah menggelar tikar di depan pondok dan berbaring dengan bertelanjang dada sambil mendinginkan badan dengan kipas anyaman daun kelapa. Bila di kebun tak ada pondok, mereka akan berbaring menyandar di bawah pohon.

Kehidupan di Taveuni akan tampak sibuk ketika kapal feri datang dari Suva, ibukota Fiji, dua kali dalam sepekan. Hal ini karena berarti mereka harus memanen talas agar dapat dijual ke pedagang yang datang naik feri dari pulau lain.

 

Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi November/Desember 2014.