Terbuai Keindahan Chubu (Bagian 1)
Terletak di antara Kanto dan Kansai, Chubu merupakan kawasan di tengah Honshu, pulau utama Jepang. Pesona Chubu terletak pada keindahan alamnya, yang didominasi perbukitan dan pegunungan, di mana semuanya akan menampilkan wajah yang berbeda-beda sesuai musim. Tak sekadar berfoto, pengalaman yang didapat pun beragam, mulai dari mencoba memainkan binzasara, instrumen perkusi tradisional Jepang; mengenakan kimono sambil menelusuri distrik teh yang sudah ada sejak Zaman Edo; hingga mendekorasi peralatan makan menggunakan lembaran emas.
Chubu memiliki sejumlah tempat indah berlatarkan kisah sejarah, yang tentu akan semakin berkesan untuk melalui waktu berkualitas bersama pasangan. Kastel megah, gang-gang sempit di kota tua, dan desa tradisional yang sepi turis, Chubu pun bisa saja menjadi destinasi bagi para pebulan madu.
Masa Lalu Jepang
Berlokasi di bagian tengah Jepang, Nagoya adalah gerbang untuk mengeksplorasi wilayah Chubu. Anda dan pasangan dapat memilih untuk tinggal satu-dua hari demi menjelajahi kota yang terkenal dengan perusahaan otomotifnya ini, atau sekadar meluangkan satu-dua jam untuk menuju Nagoya Castle, kemudian melanjutkan perjalanan ke kota berikutnya.
Dibangun sekitar empat abad lalu, Kastel Nagoya merupakan bekas kediaman dan markas besar militer klan Tokugawa. Di atap menara utama terdapat dua patung sachi (ikan emas berkepala harimau) dari emas murni yang konon merupakan simbol kemakmuran, sehingga kastel ini berjuluk Istana Emas, sementara sachi menjadi lambang kota. Kompleks bangunan ini sendiri telah beralih fungsi menjadi museum yang menyimpan berbagai peninggalan dari zaman Edo dan berbagai karya seni yang selamat dari pengeboman selama Perang Dunia II.
Usai menjelajahi kompleks kastel, berjalanlah menuju Kinshachi Yokocho, area terbuka yang dipenuhi toko dan restoran yang bertempat di bangunan yang terinspirasi dari rumah-rumah pedagang di Zaman Edo. Kemudian, Anda dan pasangan dapat makan siang di Hitsumabushi Nagoyabincho, restoran yang khusus menjual hitsumabushi (belut panggang dengan saus manis-pedas di atas nasi putih), salah satu masakan khas Nagoya.
Kota Tua Takayama
Dari Nagoya, lanjutkan perjalanan ke utara menuju Takayama selama sekitar 2,5 jam. Dikelilingi pegunungan, kota kecil di Prefektur Gifu ini menawarkan suasana tempo dulu berkat keberadaan berbagai bangunan tua dari zaman Edo. Wisatawan biasanya berkunjung ke kota ini sebelum melanjutkan perjalanan ke Shirakawa-go yang terkenal. Di zaman Edo, Takayama pernah menjadi kota perdagangan yang makmur. Rumahrumah dan jalan-jalan yang berasal dari zaman tersebut pun masih dalam keadaan terawat, terutama di sekitar Sannomachi Street di selatan kawasan Kota Tua.
Pengunjung dapat mampir ke sejumlah toko, kedai kopi, pabrik penyulingan sake (Takayama merupakan salah satu penghasil sake terbaik di Jepang), atau rumah-rumah tuanya yang sengaja dibiarkan terbuka agar para turis dapat menikmati suasana masa lalu. Kota Tua ini paling baik dijelajahi dengan berjalan kaki, walau ada opsi naik becak (jinrikisha) yang ditarik manusia seharga 7.000 yen per 30 menit.
Desa Terpencil
Sebelum kembali ke Nagoya, sempatkan melanjutkan perjalanan ke Ainokura dengan berkendara selama satu jam dari Takayama atau bisa juga naik kereta JR dari Takayama ke Takaoka, kemudian naik bus ke Ainokura. Desa ini merupakan desa paling terpencil sekaligus terbesar di Gokayama dengan total 23 rumah tradisional beratap gassho-zukuri.
Meski belum sepopuler Ogimachi, desa terbesar di Shirakawa-go, Ainokura dan desa-desa lain di Gokayama juga merupakan Situs Warisan Dunia UNESCO. Lagipula, ketimbang Shirakawa-go yang ramai turis dan penghuninya sudah tidak lagi warga setempat, Ainokura masih dihuni warganya. Karena lebih sulit diakses, desa ini pun lebih sepi turis. Wisatawan juga dapat menginap di salah satu rumah gasshozukuri di Ainokura yang dioperasikan sebagai minshuku (akomodasi sederhana yang dioperasikan oleh keluarga).
Harga per malam tinggal di rumah gassho adalah 8.000 hingga 9.000 yen per orang, sudah termasuk sarapan dan makan malam dengan menu tradisional setempat (di musim dingin berlaku harga tambahan 300 yen per orang per hari). Bila tak menginap pun, pengunjung tetap dapat menikmati sejumlah aktivitas, seperti memainkan binzasara, instrumen perkusi tradisional Jepang; membuat kertas washi; dan mengunjungi museum untuk mengintip interior rumah.
Sekadar makan siang di restoran yang ada di sini juga bukan ide buruk. Terlebih restoran-restoran di sini telah lama mengadaptasi konsep farm to table dengan bahan makanan yang seluruhnya dari kebun di seberang rumah, maupun sungai dan hutan terdekat.