
Uluru, Si Raksasa Merah
Batu besar berwarna merah di tengah gurun yang tak berpenghuni dan dinaungi langit biru akan membuat siapa pun yang melihatnya merasa kecil.
Setelah sembilan hari mengendarai campervan dari Sydney, tak sabar rasanya untuk sampai di Uluru. Saya sempat kegirangan ketika akhirnya melihat sebentuk gunung yang melintang memanjang di cakrawala. Ternyata itu bukan Uluru, melainkan MacDonnell Ranges yang panjangnya mencapai 644 kilometer. Dari situ, Uluru masih sekitar 80 kilometer lagi. Jalanan yang tadinya sepi pun kemudian tampak ramai dengan deretan bus yang mengangkut rombongan turis.
Fasilitas terdekat dari Uluru tersedia di Yulara yang berjarak 18 kilometer dari gunung batu yang oleh penutur bahasa Inggris disebut Ayers Rock itu. Sebagai kota resor, di Yulara tersedia beragam jenis akomodasi bagi beragam kelas bujet. Karena merupakan taman nasional, setiap pengunjung diwajibkan membayar uang masuk sebesar 25 dolar Australia yang berlaku untuk tiga hari. Saking luasnya Taman Nasional Uluru – Kata Tjuta, minimal dibutuhkan tiga hari untuk mengeksplornya. Sesuai namanya, selain Uluru, di taman nasional itu juga terdapat formasi bebatuan unik lain, antara lain Kata Tjuta (The Olgas) yang berjarak 35 kilometer dari Uluru.
Megah dan Indah
Beberapa kilometer setelah memasuki taman nasional, akhirnya pemandangan yang telah ditunggu-tunggu terlihat juga. Megah berwarna oranye terang, Uluru tampak kontras dengan langit biru yang menaunginya dan rumput hijau yang mengalasinya. Banyak buku panduan menyarankan pengunjung datang menjelang matahari terbenam. Tak hanya matahari sudah tak terlalu menyengat, namun juga menjelang senja pemandangan di sini sangatlah indah, terutama dari viewing platform yang tersedia. Konon Uluru bisa berubah-ubah warna sesuai waktu dan musim, tergantung efek penyaringan cahaya matahari oleh lapisan atmosfer bumi.
Saking besarnya, untuk bisa berfoto dengan latar Uluru yang utuh, pengunjung harus berdiri beberapa kilometer. Setelah puas berfoto dengan latar Uluru di kejauhan, kami pun melanjutkan perjalanan untuk melihat gunung batu itu dari dekat. Semakin dekat, gunung yang telah dinobatkan sebagai World Heritage oleh UNESCO ini semakin membuat saya tercengang. Ternyata Uluru bukan hanya sebongkah batu raksasa, namun di sekujur permukaannya tampak kontur yang berbeda-beda, tergantung dari sudut mana melihatnya. Formasi batuan pasir berwarna oranye itu setinggi 348 meter dan jika dibandingkan, Uluru lebih tinggi daripada menara Eiffel di Paris. Kami kemudian mengelilingi Uluru dengan campervan dan kembali dikejutkan dengan fakta bahwa satu putaran mengelilinginya ternyata sejauh 9,4 kilometer.
Berjalan Keliling
Salah satu aktivitas populer di sini adalah berjalan kaki menjelajahi Uluru. Rute paling singkat adalah Kuniya Walk sepanjang satu kilometer pulang pergi menuju sumur dengan gua yang dihiasi atraksi rock art. Bermula dari parkiran Kuniya, rute ini berdurasi sekitar 45 menit. Pilihan rute lainnya adalah Mala Walk sejauh dua kilometer pulang pergi selama 90 menit yang dimulai dari parkiran Mala menuju Kantju Gorge yang curam dan menjulang tinggi. Bekas aliran air yang mulai menghitam akibat lumut terlihat di sekujur dinding batu tersebut. Di musim hujan, kadang kolam di bawah tebing itu penuh terisi air. Dalam perjalanan menuju Kantju Gorge, pengunjung dapat melihat handpainting suku Aborigin di dinding gua.
Karena saya berencana menginap semalam di Uluru, maka saya sengaja memilih rute berjalan kaki yang terpanjang, yaitu Uluru Base Walk. Rute mengitari Uluru sepanjang 10,6 kilometer ini dapat diselesaikan dalam 3,5 jam. Walau panjang, namun jalurnya tergolong mudah dan bahkan bisa dilalui oleh kursi roda karena permukaan tanahnya datar.
Walaupun rute ini cukup panjang, namun perjalanan tidak terasa membosankan. Terlebih saya dibuat sadar akan keragaman kontur Uluru yang tidak rata dan di beberapa tempat bahkan membentuk ceruk dan tebing yang konon dimanfaatkan oleh suku Aborigin untuk berlindung dari cuaca ekstrim dan hewan buas di masa lalu. Beberapa ceruk yang terbentuk pun ada yang sangat luas hingga bagai dipisahkan oleh padang rumput. Warna bebatuan yang terlihat pun berbeda-beda, kadang oranye terang, kadang cokelat gelap. Namun sesuai namanya, Red Center, tanah di sini memang berwarna jingga, mirip tipikal tanah yang digunakan untuk lapangan atletik.
Semua jalur trekking yang ada sebenarnya tergolong mudah karena melewati tanah yang rata. Hanya saja bila datang di musim panas, terik matahari akan cepat menguras energi. Beberapa area memang terlindungi rimbun pepohonan, namun mayoritas trek yang dilalui terekspos matahari.
Sebelumnya saya sudah diwanti-wanti untuk membekali diri dengan minimal satu liter air sebelum memulai trekking di Uluru agar tidak dehidrasi. Di titik awal rute saya mengisi penuh botol minum dengan air kran yang disediakan pengelola. Sempat hampir kehabisan air, untungnya di beberapa titik tersedia keran air minum. Untung waktu itu musim dingin sehingga udara cukup sejuk dan tenaga tidak cepat terkuras.
Teks & foto Susan Natalia Poskitt
Selengkapnya baca di Majalah Panorama edisi Juli-Agustus 2014.